Jumat, 28 November 2008

Empat Perempuan


Empat Perempuan

Untuk pertama kalinya aku sadar bahwa kini aku tak lagi hidup di zaman sebelum masehi. Terlalu banyak perubahan yang membuatku jengah. Perubahan yang terkadang membuat aku seakan terhanyut bahkan nyaris terjerumus dalam kubangan yang kerap mereka jajahkan. Ribuan bahkan jutaan warna-warni kenikmatan terhampar di depanku. Aku hanya tinggal memilih dan mengambil salah satunya untuk aku coba.

Jujur, semakin lama keadaan ini membuatku justru berada pada rasa takut. Takut ketika suatu hari nanti aku akan seperti orang-orang itu. Orang-orang sejenisku.

Para makhluk Tuhan yang disebut dengan perempuan. Sang pendamping kaum Adam.

Setiap hari halte itu tak pernah sepi dari penunggunya, yang sebagian besar adalah kaum hawa. Waktu masih menunjukkan pukul 07.10 WIB pagi. Ada beberapa orang yang sebenarnya sudah tidak asing berada disitu. Empat perempuan di posisi yang berbeda. Setiap hari mereka menunggu di halte yang sama, walau dengan bus yang berbeda tujuan.

Dara

Seorang diantaranya baru saja tiba. Sesampainya di halte tersebut, ia disibukkan dengan rambutnya yang tergerai begitu saja. Ia tersenyum simpul menatap betapa cerahnya mentari hari ini. Dara, begitu panggilannya. Ia tampak cantik ketika itu. Bahkan di setiap harinya, ia adalah sosok yang selalu tampak menarik. Tubuhnya terawat sangat baik. Nyaris tanpa cacat. Cantik.

Ada yang berbeda darinya hari itu. Ia tidak sedang menunggu bus. Seorang lelaki muda dengan mengendarai sepeda motor “jetmatic” mengampiri Dara. Ia kelihatan sangat bahagia. Ternyata lelaki itu adalah kekasihnya. Sejak saat itu, Dara tidak pernah menumpang bus lagi. Lelaki itulah yang sedia menghantar kemanapun Dara ingin pergi. Meski ia tetap harus menunggu kekasih hatinya di halte seperti biasa. Bukan masalah besar baginya.

Hubungan mereka terjalin hingga tiga tahun lamanya. Dan dua tahun terakhir, terlihat begitu banyak perubahan dalam hidup Dara. Bukan hanya tentang penampilannya yang kini tak semenarik tiga tahun yang lalu, tetapi juga terlihat pada bentuk fisiknya. Tubuh yang dulu bak gitar spanyol, kini persis seperti Cello. Lebih berisi di areal pinggul saja. Wajahnya memang masih cantik namun tidak lagi bersinar. Kehidupan Dara berubah 180 derajat. Dalam dunianya seperti hanya ada Ia dan kekasihnya, tidak ada tawa dari teman-temannya lagi, atau bahkan dari keluarganya sendiri. Dara seperti menenggelamkan diri dalam alam cinta yang ia selami sampai dasar yang paling akhir. Dara yang dahulu jarang sekali mengenal sosok pria, kini justru tidak pernah lepas dari sosok pria. Pria yang hanya lebih tua 2 tahun darinya. Pria yang tidak jelas pekerjaannya apa dan dimana. Pria itu bernama Haris.

Lelaki setampan dan sekaya apapun yang datang dan mencoba untuk mencuri hati Dara, sepertinya sudah tidak ada pengaruhnya lagi. Di matanya hanya ada Haris. Tapi apa memang ada, cinta sedahsyat itu? Cinta yang telah membutakan mata Dara. Cinta yang membuatnya hanyut dalam buaian, hingga ia tak lagi bisa memikirkan apa yang harus ia serahkan dan apa yang seharusnya tidak ia serahkan. Hingga ia tak lagi bisa membedakan bagian tubuh mana yang seharusnya masih ia jaga, dan mana yang seharusnya ia bebaskan, pada lelaki itu.

Dini

Berdiri tepat di sebelahnya, seorang gadis belia berseragam putih abu-abu. Dari penampilannya saja, dengan rambut kemerah-merahan, kemeja putih ketat dipadu rok abu-abu mini lima jari di atas lutut, sepatu kets dan tas sandang bermerek, sudah bisa di lihat bahwa ia bukan gadis biasa. Namanya Dini. Usianya baru genap 16 tahun. Jemari lentiknya sibuk menekan tombol-tombol yang ada pada telepon genggamnya. Yang jika ditaksir, harganya bisa mencapai dua jutaan. Sebuah harga yang tidak mungkin ia capai hanya dengan mengumpulkan uang jajan setiap hari. Sesekali ia tersenyum geli membaca balasan pesan singkat dari seberang sana. Dini berasal dari kelurga yang sangat sederhana. Ia hanya tinggal berdua dengan ibunya di sudut Kota, melewati gang-gang sempit yang padat penduduk. Mereka hidup dari warung kopi milik ibunya. Warung yang selalu ramai dikunjungi oleh lelaki-lelaki hidung belang yang selalu menggoda Ibu. Dan Ibu sepertinya juga sangat menikmati kesehariannya itu.

Selang beberapa menit, sebuah sedan mewah menghampiri Halte. Dini tersenyum genit, ketika si pengemudi membuka kaca mobilnya. Tampak seorang lelaki paruh baya, yang usianya bisa dibilang sepantaran dengan ayahnya.

Tanpa basa-basi Dini langsung masuk ke dalam mobil. Dalam sekejap mata, kendaraan itu hilang bersama deru asap dari panasnya cuaca pagi itu. Jauh dalam relung hati nya, ada rentetan airmata yang siap jatuh kapan saja. Bahkan di tengah tawanya sekalipun, ia merasa ada sebuah penyesalan yang kian menggunung. Ia begitu ingin seperti teman-teman seusianya. Namun apa mau dikata, Tuhan sepertinya tidak ingin Dini bernasib sama seperti mereka. Lama ia memandangi setumpuk kertas berwarna biru di genggamannya. Bukan karena bingung harus kemana ia habiskan uang itu. Tapi ia merasa, kapan semuanya akan berakhir. Ia lelah, namun tidak kuasa menghindari semua. Di atas atap sebuah gedung usang, Ia berteriak sekencang-kencangnya. Kenapa harus aku yang mengalami semua itu? Kenapa aku harus dilahirkan di dunia ini, jika hanya akan mengotori keindahannya? Kenapa Tuhan tidak mencabut nyawaku saja?

Tapi Dini hanya seorang gadis kecil. Yang ia butuhkan kelak hanyalah tangan seseorang yang akan membantunya keluar dari tempat yang gelap. Karena betapapun ia berusaha keras untuk mencoba sendiri keluar dari tempat itu, ia takkan mampu tanpa orang-orang yang mencintainya.

Wulan

Tidak jauh dari tempat Dini, seorang wanita usia 30-an berdiri gelisah. Menanti bus yang sedari tadi tak kunjung datang. Rambutnya yang tak tertata rapi, pakaiannya yang sangat tidak bergaya, ditambah kacamata tebal, membuat siapapun lelaki yang melintas enggan untuk menghampirinya, bahkan untuk meliriknya saja, mungkin mereka takkan sudi.

Wulan, begitu nama yang tertera di atribut sebelah kiri bajunya.

Separuh hidupnya ia habiskan hanya untuk karir dan pekerjaan. Tumpukan berkas-berkas sudah siap menantinya di atas meja kerjanya. Belum lagi ia harus menghadapi atasan yang extra perfectionist, mewajibkan seluruh bawahannya untuk berkerja sesempurna mungkin. Tidak boleh ada kesalahan sekecil apapun. Berkerja dengan waktu hampir 12 jam setiap hari. Ia bahkan tidak pernah sekalipun merasakan cinta dari lawan jenisnya. Hidupnya terlalu monoton. Ia tidak pernah merasakan bagaimana indahnya mencintai dan dicintai seseorang. Cinta seperti sudah jengah menunggunya. Menunggu untuk ia cicipi. Sifat tak acuhnya membuat semua cinta itu pergi. Kini hanya rasa sepi, setiap kali ia menerima undangan pernikahan dari rekan sejawatnya.

Perlahan ia masuk kedalam kamar sang calon pengantin. Sahabatnya tampak begitu cantik mengenakan kebaya putih bersiap-siap untuk mengikrarkan janji sehidup semati. Ia peluk sahabatnya dengan erat. Satu lagi, sahabatnya mengambil keputusan yang seharusnya ia ambil sejak dulu sebagai wanita. Yaitu menjadi istri dan kelak menjadi ibu. Ia menatap lekat kedua mata indah sahabatnya. Dalam tatapannya, sang sahabat berkata...

Kau juga harus sepertiku. Cinta itu masih ada, jika kau mau mengejarnya. Hanya butuh sedikit perubahan untuk itu…

Mereka kembali berpelukan. Sesekali ia menyeka tangis, melihat sepasang manusia di depannya yang tengah disumpah menjadi suami istri. Tapi bukan tangis bahagia yang ia rasakan, tetapi justru tangis kesunyian hatinya. Ia tidak tahu siapa kelak lelaki yang akan mendampinginya untuk duduk di depan sana. Ia bahkan tidak tahu, apakah cinta itu memang masih ada untuknya, atau tidak sama sekali.

Yulia

Jarak dua meter dari tempat Wulan berdiri, seorang Ibu duduk dengan tenang. Ia sepertinya sedang tidak terburu-buru pagi itu. Sebuah keranjang yang terbuat dari anyaman pandan, setia menemaninya menunggu bus. Kedua bola matanya tampak menatap hening jalan raya. Ada sesuatu yang ia pikirkan. Hatinya begitu gundah, meski ia sudah berusaha menutupinya dengan senyuman tulus kepada orang-orang yang menyapanya dengan panggilan Bu Yulia, sepanjang perjalanan dari rumah menuju halte. Ia juga selalu tetap ceria di depan ke tiga Putranya. Ia tidak ingin siapapun tahu tentang perih yang ia rasakan.

Perih yang ditorehkan dari ketidaksetiaan suami yang ia cintai selama 21 tahun. Selama 21 tahun tersebut, ia masih tetap mencintai suaminya. Meski sebuah goresan luka takkan hilang terhapus masa. Janji suci yang sudah ia ucapkan puluhan tahun itu, tidak pernah goyah. Bahkan ia selalu berpura-pura tidak mengetahui perbuatan suaminya, seperti layaknya seorang aktris yang sedang berakting. Kata maaf seperti sudah menjadi obat tidur yang selalu bisa menenangkan disetiap tidur malamnya. Bagi Yulia, suami seperti sayap kanannya. Jika sebelah sayap itu tidak ada, maka ia bisa mati. Ia sama sekali tidak mengutuk wanita lain yang menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya, ia juga tidak mengutuk perbuatan suaminya yang sudah mengkhianatinya lebih dari 6 tahun. Ia hanya menyesalkan, mengapa ia tidak bisa jadi seorang istri yang bisa menjaga hati suaminya. Mengapa ia tidak bisa menjadi istri yang sempurna untuk suaminya. Apa dan siapa yang bersalah, ia juga sama sekali tidak mengerti. Dalam benaknya, hanyalah keinginan agar keluarganya tetap utuh sampai ia tak lagi bisa melayani suami dan anak-anaknya lagi. Sampai maut menjemputnya.

Di tengah malam yang semakin larut, Yulia masuk kedalam kamar anak-anaknya satu demi satu. Sebelum mengecup kening mereka, ia berbisik lembut dan menyampaikan pesan yang akan selalu diingat oleh ketiga putranya, tidak hanya dalam tidur mereka, namun dalam kenyataan yang kelak akan mereka hadapi.

Jika wanita adalah sebuah pintu, maka pria adalah kuncinya. Sampai kapanpun takkan bisa dibuka oleh kunci yang lain, jika wanita itu sudah menemukan kunci yang tepat untuknya.

Empat perempuan itu hanyalah segelintir contoh perempuan yang aku temui di sepanjang perjalanan hidupku. Lantas, aku perempuan seperti apa?? Yang jelas aku tidak ingin seperti ke empat perempuan itu. Sekalipun aku bukan perempuan sempurna, sama seperti mereka.

Aku hanya bisa berusaha untuk jadi perempuan sebaik mungkin bagi siapapun, bukan hanya bagi pasanganku. Walau bukan yang terbaik. Selanjutnya, apa yang akan terjadi esok, lusa dan seterusnya, biarlah menjadi sebuah misteri. Karena bagi perempuan seperti ku, perempuan yang tidak sempurna ini, hanya bisa berusaha dan berdoa. Semoga Tuhan selalu menjagaku. Dan terus membimbingku. Agar apa yang aku pertahankan selama ini, akan dan tetap terjaga sampai aku menemukan pasangan hidupku. Dan jika kelak lelaki itu sudah berada di depan mataku, aku ingin ia hanya mencintai ku.

Mencintai apa adanya diriku. Mencintai kelebihanku, menutupi kekuranganku. Sampai ia mati. Begitu juga sebaliknya. Aku ingin Tuhan selalu menjaga hatiku, agar aku hanya akan mencintai suamiku. Siapapun dia. Semoga.



26 November 2008