Selasa, 13 Mei 2008

Lelaki-Lelaki Ku

Sebelumnya ingin aku pertegas dulu. Berbicara mengenai ‘Lelaki-Lelaki Ku’ , bukan lah tentang bagaimana cinta yang aku dapatkan dari mereka. Dan aku sama sekali tidak berbicara tentang cinta, bahkan sebenarnya tidak ingin. Karena menurutku cinta itu tidak ada artinya. Maksudku, tidak ada defenisinya. Pada kenyataannya, sebuah kata itu belum pernah ada yang dapat mendefenisikan dengan sangat jelas dan sesuai kenyataan. Saat ini cinta hanya dimiliki oleh orang-orang naïf. Yang mendewa-dewa kan cinta. Yang menomorsatukan cinta di atas segalanya, tanpa mereka paham betul apa maknanya. Cinta orang-orang naïf itu kelak hanya akan membuat mereka merasakan sakit teramat sangat. Cinta orang-orang naïf itu hanya sebuah bayang semu yang menuntun dan membawa mereka pada perintah-perintah gila. Tidak abadi. Namun cinta yang kekal dan sejati hanya dimiliki oleh Tuhan kepada segala ciptaan-Nya, oleh istri saleha kepada suaminya, oleh seorang Ibu dan seorang Ayah kepada anaknya. Serta dimiliki oleh seorang hamba saleh kepada Penciptanya.

Sejak kali pertama aku menghembuskan nafas ke dunia yang sebenarnya teramat indah ini jika saja belum terkontaminasi dengan berbagai macam ‘virus’, ada begitu banyak sekali lelaki yang aku jumpai. Namun lelaki yang pertama kali aku lihat garis wajahnya dan sangat aku kenal tentu saja ayahku ‘tercinta’. Setelah Ayahku, ada ‘abang’, ada kakek, paman, om, dan adikku yang beda 4 tahun di bawahku. Aku terlahir sebagai anak pertama. Kalau orang bilang, anak pertama itu ‘ilmu’ kedua orang tuanya masih sedikit, jadi hasilnya tidak terlalu bagus. Tapi ‘kataku’, anak pertama justru buah cinta pertama kedua orang tuaku. Awal sebuah kebahagiaan yang tidak terkira nikmatnya memiliki keluarga. Sebab keluarga adalah terdiri dari Ayah, Ibu dan Anak. Kalau tidak ada yang namanya anak, maka hanya dikatakan sebagai sepasang suami istri. Jadi anak pertama adalah penentu terbentuknya sebuah keluarga.

Berhubung aku adalah anak pertama, sejak kecil aku memimpikan seorang kakak laki-laki. Karena aku pikir akan sangat indah dan lengkap hidupku jika aku memilikinya. Bukan berarti aku tidak mensyukuri takdirku sebagai anak pertama, itu hanya sebuah impian yang hanya aku, hatiku dan Tuhanku yang tahu. Dia bisa melindungi dan menjagaku, dan menjadi tempatku mencurahkan segala isi hati dan kekesalan ku tentang kaum sesamanya. Aku bisa cerita apapun tentang laki-laki yang mendekatiku, dan dia bisa cerita tentang perempuan yang sedang ia dekati. Impian itu terkadang membuat aku jadi nyaris gila. Sebab aku selalu membayangkan, bahwa dia benar-benar ada di dekatku. Dan menghapus air mataku ketika aku tidak lagi mempunyai teman yang dapat aku ajak bicara dan mengerti aku. Aku benar-benar menyempurnakan wujudnya dalam benakku.

Gila??? Tentu tidak. Aku sadar. Sepenuhnya aku sadar dia tidak nyata.

Tapi entah kenapa, dia selalu muncul tepat setiap kali aku butuh teman bicara. Aku tidak perduli jika mungkin orang-orang yang melihat akan mengira aku gila karena bicara sendiri. Aku menggambarkan nya begitu sempurna. Maaf kan aku Ya Allah, itu bukan karena aku tidak mensyukuri apa yang telah Engkau garis kan di tanganku. Hanya saja, aku tidak mampu membendung setiap tetes air mata kerinduan ku pada sosok kakak Lelaki. Terus terang aku iri melihat teman-teman ku yang punya kakak laki-laki. Pengen dipinjem sehari aja rasanya.

Aku adalah salah satu gadis yang sangat haus akan kasih sayang dari seorang laki-laki. Aku tidak pernah naïf akan hal ini. Karena naïf hanya akan membuat ku terpuruk pada rasa sepi dan menjadikan aku manusia paling bodoh telah berbalik punggung ketika satu kehangatan menghampiriku. Percaya atau tidak, aku sudah puluhan kali menjalin hubungan dengan kaum ‘adam’. Dari referensi yang sekian banyak itu, secara tidak langsung aku banyak tahu tentang watak pria yang lebih banyak menggunakan logikanya ketimbang perasaan. Maka tidak heran jika banyak perempuan yang lebih meringis perih ketika suatu hubungan itu hancur. Sering nya aku berganti pasangan_mungkin bagi teman-teman yang sudah mengenal ku bukanlah sesuatu yang aneh, tapi bagi ku tetap saja masih saja ada yang kurang. Manusia memang tidak pernah puas. Terus terang, ketika usia ku masih belasan (orang bilang masa puber) aku cukup sering mempermainkan hati lelaki yang menyayangiku (entah mereka itu serius atau tidak), aku juga tidak mengerti kenapa aku sering sekali melakukan itu. Meskipun aku juga cukup sering terkena imbas alias karma dari perbuatan ku. Mungkin karena usia ku yang masih cukup belia. Jiwa ku masih ingin ‘kesana-kemari’. Dan mungkin pengaruh teman-teman ku yang terlalu banyak dan entah dari kalangan mana saja.

Namun begitu, aku pernah menjalin hubungan yang cukup serius selama 4 tahun dengan seseorang yang terpisah jarak cukup jauh dengan ku. Ya, cukup serius karena ia pernah mengajakku untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang satu level lebih tinggi (menikah) saat usia pacaran kami menginjak tahun ke-4, bukan melamar secara resmi sih, Tapi dengan lembut aku menolaknya. Gila aja!! Secara aku masih ingin menyelesaikan kuliah dan tentu saja bekerja, merasakan bagaimana sulitnya mencari uang sendiri. Ternyata justru dia memiliki persepsi ‘kolot’ tentang wanita. Dari segala prinsip dan persepsi ditambah ego dan logikanya, yang aku tangkap adalah, bahwa ia tidak pernah suka jika seorang perempuan berada setingkat lebih tinggi dari nya. Walaupun hanya satu tingkat. Ia juga tidak pernah sudi jika kelak istrinya juga ikut bekerja.

Hellow… ini bukan zaman orde lama yang semua hal bisa dengan mudah didapat dengan biaya yang sangat murah. Setiap tahunnya, nilai mata uang semakin tidak ada artinya. Segala kebutuhan semakin meningkat seiring berkembangnya zaman. Hhh… aku tidak menyangka masih ada orang yang berpikir seperti itu. Perbedaan prinsip itulah yang menjadi jurang yang cukup dalam. Satu sama lain tidak ada yang ingin masuk ke jurang yang sama. Sifat ku yang keras di tambah ego dia yang melebihi besar badannya, membuat kami mengambil keputusan untuk berbalik arah, tanpa ada niat untuk membuat sebuah jembatan agar kami bisa melalui jurang itu.

Aku akui memang ia adalah sosok lelaki idaman. Pekerja keras, sedikit perfectionist, pintar mengatur keuangan, pelindung, cukup royal, dan… ia cukup tampan. Nilai ‘plus’ itulah yang membuat kedua orang tua ku entah kenapa sangat menyukainya. Sampai-sampai dari sekian banyak ‘pacar’ ku yang pernah bertandang ke rumah, hanya dia yang memiliki status ‘diakui’. Maklum saja, salah satu anggota keluarga juga yang mengenalkan aku padanya. Huh!!

Tapi itu sudah lama berlalu. Sekarang ia sudah menikah dengan perempuan yang tentu saja bisa menerima semua prinsip nya itu. Ya, walaupun dia tidak mengundang ku dengan alasan yang tidak aku mengerti. Aku ikhlas, aku sangat ikhlas. Bisa dibayangkan, kalau aku menerima ‘lamaran’ nya saat itu, mungkin aku tidak akan pernah sampai di Jakarta-Bandung-Yogyakarta dan Palembang. Aku bersyukur, ternyata aku tidak salah mengambil keputusan. Meski harus berkorban perasaan, dan butuh waktu berminggu-minggu untuk kembali pulih. Ya, Allah memang tahu apa yang terbaik untuk ku. Aku tahu itu.

Setelah kami berpisah, aku sadar bahwa ia sebenarnya tidak terlalu special di hidupku. Ia hanya pemegang ‘rekor’, karena telah menggenggam hati ku selama bertahun-tahun. Dan ketika semuanya berakhir, ternyata tidak ada perubahan yang berarti. Dalam artian, aku tidak merasa terlalu sakit karena rasa kehilangan yang teramat sangat. Aneh bukan?

Aku hanya membiarkan ia berlalu begitu saja tanpa beban. Kemudian aku kembali meneruskan hidup ku. Ya, seperti itu lah.

Pada prinsipnya, aku tidak pernah bermain-main dengan yang namanya hati. Walaupun aku belum ingin terlalu serius menanggapi suatu hubungan. Kalau dulu, aku tidak pernah berpikir seperti ini. Tapi usia ku kini semakin bertambah. Aku harus memilih diantara dua pilihan. Apakah aku akan tetap menjadi anak-anak atau melangkah ke tahap dewasa. Yang tentu saja mau tidak mau aku harus memilih pilihan yang kedua itu.

Aku juga pernah berhadapan dengan lelaki posesif yang menempatkan aku di urutan pertama di atas segala-galanya dalam hidupnya. Sampai-sampai aku heran, bagaimana posisi Tuhan, keluarga dan sahabat-sahabatnya? Yang justru seharusnya berada di urutan teratas sebelum aku. Aku pernah bertanya padanya, mana yang lebih dulu di prioritaskan, teman atau pacar?

Dan jawaban dia adalah pacar. Kemudian dia mengembalikan pertanyaan itu kepada ku. Dengan sangat yakin aku jawab, Ya teman donk… sontak dia terdiam. Dan kembali bertanya, Alasannya??

Lalu aku jawab sekenanya saja. Kalau ‘putus’ sama pacar masih bisa jadi temen, nah kalau ‘putus’ sama temen, mau jadi apa? Musuh? Repot kan urusannya. Mau nambah temen kok jadi banyak musuh, gimana sih…

Aku memang suka kalau ada seseorang yang bisa mengatur ku untuk bisa jadi lebih terarah. Tapi tolong, jangan rantai aku seperti ‘anjing’ peliharaan. Jangan rantai kebebasan ku untuk berteman dan dekat dengan siapapun, melakukan apapun yang aku mau, kemana pun aku pergi. Selama itu hal yang masih positif sifatnya. Jangan gila donk… kamu itu masih ‘pacar’, bukan suami yang harus aku makmum kan. Ditambah intensitas pertemuan yang cukup tinggi, membuat intensitas pertengkaran juga semakin tinggi. Kalau biasanya orang bertengkar ada piring terbang, maka pertengkaran kami diselingi dengan HP terbang. Hanya karena cemburu dengan sms bahkan miscall sekalipun, dengan alasan yang aneh menurut ku. Aku pikir, kalau tidak ada kepercayaan antara satu sama lain, percuma juga untuk diteruskan.

Nggak…nggak banget deh…

Ku punya pacar yang seperti kamu…

Ini cemburu…

Itu cemburu…

Mending putus aja…

(The Flow-Enggak Banget Deh)

Lagi-lagi karena sifat ku yang keras dan mudah memberontak, aku memutuskan hubungan yang hanya berlangsung setengah tahun itu.

Nilai ‘plus’ dari cowok seperti ini adalah, selain setianya yang tidak diragukan lagi, dia bisa ada kapan pun dan dimana pun aku butuh. Dan itu juga salah satu hal yang membuat aku sedikit merasa kehilangan, ketika dia kini lebih memprioritaskan pekerjaannya ketimbang aku, pasca hubungan kami berakhir.

Aku memang bukan cewek yang sempurna. Tidak cantik (tapi cukup manis), tidak tinggi semampai, apalagi putih seperti orang bule (item manis begitu lah kira-kira). Tapi aku cukup pintar mengambil perhatian cowok-cowok (bukan berarti aku kecentilan), tapi aku seperti memiliki cukup daya tarik (itu sih katanya). Daya tarik itu bisa dari mana saja, salah satunya mungkin dari cara ku berkomunikasi dengan mereka. Zodiac ku adalah Leo. Kalau ‘Primbon Jawa’ bilang, perempuan yang berbintang Leo, memiliki ‘kecerdasan’ tertentu dalam hal mengambil hati lawan jenisnya. Hmm… entah benar atau tidak. Who knows??

Terserah deh mau dibilang narsis atau apapun. Tapi itu kenyataannya!

Saat ini, hati ku terisi oleh seseorang yang lagi-lagi terpisah jauh dariku. Aku bertemu dengannya beberapa minggu yang lalu di Palembang, ketika kami mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional. Cinta lokasi? Hmm… tidak juga. Karena perasaan ini tumbuh justru setelah kami kembali ke daerah masing-masing. Awalnya aku tidak yakin apakah aku bisa membina suatu hubungan jarak jauh, dengan daerah yang berbeda, dan etnis yang berbeda pula. Tapi ini lah tantanganku. Aku harus bisa menaklukan jarak dan waktu. Meskipun rasa hopeless itu terkadang muncul. Cukup aneh juga sebenarnya. Kami satu sama lain belum mengenal latar belakang masing-masing. Hanya bermodalkan kepercayaan, aku memutuskan untuk menerima cintanya. Semuanya dimulai dari nol. Toh, kami sudah sama-sama dewasa. Sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Sudah tahu bagaimana menghargai perasaan orang lain, dan tentu saja sudah tahu bagaimana menanggungjawabi suatu hubungan. Jujur saja, kalau hanya untuk main-main, aku lelah. Bahkan tidak sempat. Mengingat kegiatan organisasi ku yang seebrek-abrek. Lagi pula banyak nilai positif yang bisa aku ambil dari hubungan ini. Selain meminimalisir pertengkaran, juga meminimalisir dosa pastinya.

Itu adalah segelintir kisah lelaki-lelaki dalam hidup ku. Selebihnya, aku mohon maaf bila nama kalian tidak aku tuangkan dalam blog ini. Karena bagi ku, tidak ada yang istimewa dari kalian. Tapi bagaimanapun aku tetap berterima kasih karena kalian telah membuat kisah hidup ku menjadi penuh warna, dengan berbagai suka, duka, jengkel, marah ataupun luka yang pernah tergores tanpa bisa kuhilangkan bekas itu. Aku juga mohon ampun jika ada hati-hati yang terluka karena aku, baik dulu maupun hari ini. Percayalah, tidak pernah ada unsur kesengajaan, hanya keterpaksaan saja. Selanjutnya, kisah lelaki-lelaki ku akan ku sambung lebih banyak, jika aku menemukan cerita berkesan lain dengan siapapun itu.

Kataku Agar Kau Tahu Siapa Aku


Banyak orang bilang,

Tak tahu maka tak kenal…

Tak kenal maka tak sayang…

Tapi kataku,

Tak kenal maka tak tahu…

Tak sayang karna tak tahu…

Jadi perkenankan lah aku untuk memperkenalkan diri, agar mereka tahu siapa aku. Dan apa yang akan aku katakan tentang apapun yang aku lihat, aku rasa, dan aku dengar. Baik itu mengenai diriku sendiri atau mereka yang berada di sekelilingku.

Aku adalah seorang gadis remaja dewasa. Kenapa aku bilang seperti itu, karena aku hanyalah seorang remaja pada dasarnya, yang belum sepenuhnya dewasa. Usia ku di tahun “Tikus Tanah”_yang entah dari mana asalnya mereka bisa mendapat sebutan itu, kini 20 thn. Usia dimana sebuah masa peralihan dari remaja menuju dewasa sedang terbentang di hadapanku. Tinggal beberapa langkah saja, maka aku akan berada pada level gadis dewasa yang kemudian menuju wanita dewasa. Meskipun aku tidak tahu persis apa yang disebut dengan dewasa itu sendiri.

Dimana aku lahir, sepertinya tidak penting. Karena proses kelahiranku sama dengan proses kelahiran orang-orang pada umumnya. Di atas sebuah kasur putih kusam, dengan bangsal yang dihuni puluhan pasien. Maklum, rumah sakit tempat aku lahir dibangun pada masa penjajahan. Bernuansa Belanda dan begitu tua.

Dan kapan aku lahir aku rasa itu juga tidak terlalu penting bagi mereka. Karena itu hanya akan menambah beban pikiran mereka saja. Ya, beban ketika harus selalu ingat dan harus mengucapkan ‘Selamat’, bahkan beban untuk memberikan sebuah hadiah_itu pun kalau memang ada yang berniat memberi hadiah. Eh, bukan berarti kalau aku mengingat hari Ultah mereka adalah sebuah beban berat, hanya beban saja. Apalagi untuk membeli kado, kalau dompet lagi penuh dan bergepok-gepok sih, tidak masalah bagiku. Tapi aku kan hanya mahasiswi yang masih menengadahkan tangan ke kedua orang tuaku yang ‘bermandi peluh’ mencari ‘sesuap nasi’. Semoga saja mereka mengerti. Karna jika tidak, sungguh terlalu…

Lagipula bagiku, kata-kata ‘Ulang Tahun’ kini terasa tidak terlalu istimewa. Hanya angka yang berubah, dan usia hidupku yang pasti berkurang. Sementara, setiap perubahan angka itu, serasa ada sebuah bongkahan batu ‘Tanggung Jawab’ yang semakin lama semakin berat dan menimpaku tanpa ampun.

Untuk gadis seusiaku, status yang sesuai adalah Pelajar. Saat ini aku adalah seorang mahasiswi, di salah satu Universitas Muhammadiyah satu-satunya di Sumatera Utara yang sebenarnya tidak terlalu dikenal. Banyak masyarakat hanya sekedar tahu dan pernah dengar saja. Bahkan rata-rata masyarakat awam sering salah ‘kaprah’, dengan Universitas Islam lainnya. Dan terkadang kalau di sebutkan nama Universitas nya yang ‘disingkat’ itu, sering juga orang salah dengar, dengan salah satu Universitas Negeri terkemuka di Sumatera Utara yang tentu saja sangat berbeda jauh sekali kuantitasnya. Kalau di Kampus ku hanya ada beberapa ribu mahasiswa, namun di Kampus itu ada ratusan ribu, atau malah jutaan. Entahlah, aku tidak pernah menghitungnya. (Enggak kerjaan aku kalee).

Keluargaku

Syukur Alhamdulillah, aku hidup dengan perekonomian keluarga yang berkecukupan. Tidak kurang, dan tidak lebih. Cukup makan, cukup belanja, cukup untuk biaya pendidikan aku dan kedua adikku, cukup zakat, dan cukup untuk bensin si ‘kuda besi’ yang bisa mengantarkan seluruh anggota keluarga kemanapun kami mau. Tapi belum cukup untuk naik Haji. Selain materi yang belum cukup, kendala lainnya adalah belum cukup mental bagi kedua orang tuaku. Aku juga tidak tahu apa lagi yang mereka tunggu. Mungkin menunggu hingga usia menginjak 60-an, ketika ingatan mulai sedikit demi sedikit pudar, dengan warna rambut yang sudah berubah, seperti Haji-haji kebanyakan. Tapi sebenarnya, aku sebagai anak tertua_dan yang paling dibebankan, belum siap untuk mempunyai orang tua yang berembel-embel Haji. Karena kalau orang tuaku mempunyai embel itu, malah tanggung jawabku sebagai anak semakin besar, yang harus senantiasa menjaga tingkah lakunya dengan baik, islami, dan bertutur kata ‘indah’. Hmm, jujur saja… kok malah aku yang belum siap. Namun jika Allah SWT sudah berkehendak dan memberi izin-Nya, maka angin badai sekalipun tidak akan menggoyahkan langkah Orang tua ku berkunjung ke ‘Kediaman’-Nya. Dan mau tak mau, aku harus ‘beradaptasi’ dong

Oh ya, ada sebuah impian yang sangat lucu dan patut untuk aku tertawakan yang pernah diucapkan melalui candaan ayahku dahulu ketika aku masih ‘dimanja-manja’.

Hampir setiap malam_jika ayah tidak ada kesibukan beradu pendapat mengenai kelebihan dan kecacatan negeri tercinta ini dengan sesama kepala keluarga lain, dan jika ayah tidak membawa setumpuk berkas-berkas yang sama sekali tidak dimengerti oleh satu rumah_kami duduk di beranda (yang lebih dikenal dengan teras) rumah, melihat bulan yang terkadang senyum, terkadang hilang dan menunjuk-menunjuk bintang yang membentuk rasi indah. Ayahku mengatakan seandainya saja ada sebuah pesawat yang melintas, dan disana tengah terjadi pertengkaran hebat oleh dua orang yang entah siapa itu, memperebutkan sebuah koper berisi bertumpuk-tumpuk uang, kemudian terlempar keluar pesawat dan jatuh tepat di depan kami. Maka apa yang akan kami lakukan? Pertama sekali adalah tidak melaporkannya kepada RT setempat apalagi pada Polisi. Ha… ha… dan selanjutnya???? Mungkin kami harus mengadakan rapat intern keluarga, mau diapakan uang ini??

Aku adalah Aku

Itu tadi sedikit hal manis tentang aku. Selanjutnya akan ada banyak sekali hal-hal manis lain yang akan aku katakan.

Dan aku hanya menerima saran dan pujian mengenai tulisanku. Bukan kritikan pedas. Apalagi pertanyaan yang bertubi-tubi. Sebab sebuah kritikan pedas adalah bentuk sifat iri. Dan terlalu banyak bertanya adalah cermin orang bodoh.

Kalau saja mereka sadar, bahwa saran dan pujian adalah sikap yang diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan hanya Allah SWT yang berhak mengkritik ku. Sebab hanya Allah SWT yang memiliki kesempurnaan. Bukan aku, bukan kamu, dan bukan mereka.