Rabu, 15 Oktober 2008

Sandwich Tanpa Isi

Pagi itu, mentari tengah berada pada waktu Dhuha. Aku masih terbaring lelap dalam tidur dengan mimpi kosong. Tiba-tiba dering telphon membuat aku seketika terjaga. Jarak suara itu dengan tempat ku terbaring terlalu jauh, hingga rasanya aku malas untuk menggapainya, hanya sekedar untuk mengatakan “hallo.” Beberapa kali suara itu berteriak, tetap tidak ada seorang pun yang berusaha membungkamnya. Akhirnya dengan mata yang masih sembab, dan langkah yang sedikit sempoyongan, aku berjalan menuju benda yang sedari tadi berbunyi.

“Hallo…” dengan suara yang masih parau, aku coba membuka percakapan.

“Hallo Assalamu’alaikum…” terdengar sebuah jawaban.

“Wa’alaikum salam…” Aku mengucek mata berusaha memastikan bahwa aku sudah tidak dalam keadaan tidur.

“Bisa bicara dengan Sierly..?” suaranya yang berat menandakan bahwa aku sedang berbicara dengan seorang lelaki dewasa. Tapi siapa dia??

“Ya, ini sierly sendiri, ni siapa ya??”

“Ini Rian, Sier…Tmn SMP dulu, tapi kita beda kelas.”

“Rian?? Rian yang mana ya??” Tanya ku masih di antara sadar dan tidak sadar.

“Rian temen sekelas Retno, kelas III-4 itu lho, Sier..”

“Oh, iya..ya.. Apa kabar??” jawabku lagi, dengan otak yang masih berputaar-putar mencoba mengingat sosok Rian. Terus terang saja, aku masih lupa. Tapi dari pada aku menyinggung perasaannya, lebih baik aku pura-pura sudah ingat saja. Sesaat aku memang berusaha keras mengingat dia, apakah Rian yang memiliki postur kurus, bermata sipit, berkulit putih dengan aksen yang sedikit kewanita-wanitaan itu. Atau Rian yang berpostur sedang, berkulit putih juga, agak pendiam tapi cukup nakal di sekolah.

Hmm…entahlah.

Yang aku ingat adalah, dulu aku dan Rian tidak pernah berteman dekat, bahkan untuk sebuah teguran saja rasanya jarang sekali. Lalu kenapa ia bisa menelpon ku? Padahal aku tidak pernah memberikan nomer rumah ku padanya. Usut punya usut ternyata ia mengetahuinya dari Retno. Tapi kenapa tiba-tiba saja ia menelpon ku? Karena seingat ku lagi, sudah hampir 7 tahun aku terpisah dengannya. Dan selama itu, sedetik pun aku tidak pernah mengingatnya. Lalu kenapa dia tiba-tiba mengingatku?

Suaranya yang berat, membuat hati ku masih tetap bertanya-tanya apakah aku memang sedang berbicara dengan Rian? Bukan karna aku merasa ada yang berubah darinya, tapi aku memang tidak tanda dengan suaranya. Ya karna memang aku tidak pernah mendengar suaranya sebelumnya. Setelah bicara cukup lama, barulah aku sadar bahwa ia memang benar-benar Rian.

Dia memang sudah berubah. Tidak di sangka, Rian yang dulu ku tahu adalah sosok cowok yang tidak banyak bicara tapi cukup nakal karna sering bolos juga, kini sudah hampir 3 tahun menjadi seorang AURI atau Angkatan Udara Republik Indonesia. Dan kini ia dinas di Yogyakarta.

Sejurus kemudian, seperti ada sesuatu yang tiba-tiba membuatku terhenyak heran. Ketika ia berkata tentang alasan mengapa ia bisa tiba-tiba menghubungiku. Beberapa waktu lalu, ia bermimpi tentangku. Dalam mimpinya, aku berkata kalau aku akan selalu menunggunya kembali. Dan sejak mimpi itu, ia selalu beranggapan mungkin aku adalah jodohnya. Sekarang ia kembali ke Medan untuk liburan, sekaligus khusus mencariku.

Rian begitu yakin kalau aku adalah sosok yang selama ini ia cari. Dan pagi itu juga, ia langsung mengutarakan maksudnya untuk memberikan ia kesempatan menjadi kekasihku. Walah… udah gila kali yha??

Semakin lama ia semakin serius dengan keinginannya itu. Sementara aku, tidak bisa berkata apa-apa selain mencoba tetap menyadarkan diri, bahwa aku tidak sedang bermimpi.

Hanya dalam kurun waktu beberapa hari, dia sudah bisa mengambil hati orang tuaku. Dia bahkan cukup nekat bicara dengan orang tuaku tentang keseriusannya untuk berhubungan denganku. Dengan pakaian dinasnya yang serba biru, plus pangkat Serda (Aku sendiri nggak ngerti setinggi apa sih pangkatnya itu??), tentu saja orang tuaku sumringah mendengarnya. Apalagi ayahku, dia malah menasehatiku macam-macam, kalau inilah saatnya aku memiliki seseorang yang benar-benar bisa mengayomiku Bla..bla..bla….

Oke... Aku akui, awalnya aku salut empat jempol untuknya. Dia cowok pemberani bahkan melebihi pahlawan bertopeng manapun. Dan memang baru dia cowok yang cukup handal berkompromi dengan ayahku panjang lebar. Malah belum ada mantan pacarku yang seperti itu, bahkan Edwin yang sempat berhubungan 4 tahun itupun sangat tidak pernah berbuat itu. (Hhh… kenapa harus inget dia lagi sih?!)

Dia hanya punya waktu beberapa hari di Medan. Dan selama beberapa hari itu, dia lebih banyak menghabiskan waktunya denganku. Banyak hal yang ia bicarakan. Sangat banyak sekali. Seputar kegiatannya disana. Bagaimana dia bisa lulus AURI. Dan yang paling membuatku pusing adalah tentang planing dia untuk segera menikah di tahun 2010. Padahal aku belum menerima dia jadi apapun. Tapi apa yang dia bilang seolah-olah aku sudah resmi jadi calon istrinya. Dia juga bilang, kalau seorang istri AURI harus seperti ini, seperti itu. Pliz dech bho!!!

Pada pertemuan ketiga, aku langsung dibawa ke keluarga besarnya. Dimana disitu ada orang tuanya, neneknya, paman, bibi dll. Dan dengan santainya dia memperkenalkan aku sebagai calonnya. Seluruh darahku rasanya seperti turun ke ujung kaki. Sendi-sendi ku terasa ngilu. Kepalaku dipenuhi kunang-kunang yang tertawa-tawa melihat mukaku yang pucat. Aku mau pingsan saja rasanya. Saat itu rasanya aku cuma ingin berteriak “Ooh…Tidak!!!”

Walaupun aku hanya mengenalnya dalam waktu beberapa hari. Aku sudah bisa membaca semua sifatnya. Pemarah, sedikit angkuh, possesif, terlalu serius, dan terlalu banyak berkhayal! Malah khayalannya tinggi kali pula tuh…

Mungkin aku memang sedikit matre (Hari gini mana ada sih cewek yang cuma mau makan cinta mentah-mentah, itu bagi mereka para wanita yang mau memikirkan masa depannya), tapi aku juga bukan cewek yang gila harta atau pangkat dari seorang lelaki. Rasa sayang itu juga harus ada. Dan aku sadar, kalau aku memang tidak bisa memaksakan hatiku untuk bisa memiliki rasa itu untuk Rian. Akhirnya aku memutuskan untuk bicara semuanya ke dia, tentang apa yang aku rasakan. Tentang bagaimana aku sebenarnya, dan tentang orang lain yang sudah mengisi hatiku.

Aku tidak bisa membayangkan kalau Rian jadi suamiku. Apa jadinya gelar S.Sos ku, apa jadinya semua karirku, impianku. Oh No Way!

Jodoh memang di tangan Tuhan, tapi untuk kali ini, aku lah yang harus menghentikan jodoh itu, kalau Tuhan sudah merencanakan Rian adalah salah seorang jodoh yang harus ku pilih.

Pliz Allah… beri aku lelaki yang lain saja!!

Saat ini yang ada di hatiku cuma Eko. Meskipun dia jauh, tapi aku bisa jauh lebih nyaman untuk berbagi apapun dengannya. Aku bisa jadi diri aku sendiri. Dia selalu bisa jadi air ketika bara api menyelimutiku. Walaupun dia punya segudang kesibukan, tapi dia akan tetap mencariku ketika aku membiarkan dia melakukan kegiatannya tanpa mengganggunya dengan suara dering handphone.

Dalam penglihatanku, Rian seperti sepotong sandwich. Ia begitu terlihat lezat dan menggoda untuk kucicipi, tapi terlalu hambar dan tanpa isi. Cinta tidak hanya bagaimana kita bisa menerima seseorang apa adanya. Tapi juga bagaimana caranya kita untuk membuat cinta itu menjadi sesuatu yang membuat perubahan positif dalam hidup kita.

Cinta itu lebih dari sekedar kata, ia harus bisa memberi kita banyak hal.

Cinta tidak hanya memberi kita rasa aman, tapi juga kenyamanan.

Kenyamanan untuk melakukan banyak hal yang kita suka, tanpa terbelenggu oleh rasa cinta itu sendiri.

Dan bagiku hal yang paling terpenting adalah aku akan merasa nyaman bersama orang yang aku sayangi dan menyayangiku. Siapapun dia.



Oktober 08

Benci Untuknya

Aku tidak mengerti dengan apa yang aku rasakan. Dan aku benar-benar tidak tahu ada apa sebenarnya dengan diriku. Aku membencinya. Sangat membencinya. Walaupun dulu aku begitu mencintainya hingga bertahun-tahun. Dan selama bertahun-tahun pula aku membiarkan cintanya tertanam erat dihidupku.

Disini, aku sendiri. Terbenam pada bayang-bayang masa lalu.

Ya, Tuhan.. aku sungguh-sungguh telah merelakannya memiliki pendamping lain. Bukan aku. Tapi kenapa bayangnya selalu tiba-tiba saja muncul. Bahkan disaat aku menyelami mimpi-mimpi dalam tidur lelapku.

Aku lelah.

Lelah memikirkannya.

Lelah menghapus segala kenangan itu.

Tapi kenangan itu terlalu banyak. Ratusan jumlahnya, bahkan ribuan. Dan tahukah kalian, hampir sebagian besar diary ku berisi tentang dia.

Seharusnya, kini aku juga bahagia sama seperti dia. Tapi mereka tidak pernah tahu, ada setetes air mata yang jatuh dihatiku setiap kali aku mendengar namanya. Padahal ini sudah hampir dua tahun kami berpisah. Atau aku hanya belum memberi kesempatan pada waktu. Waktu yang akan membawa ku melihat banyak hal.

Kadang ketika sepi itu mulai menggelayuti benakku, ada sesal dalam hati, bahwa aku lah yang seharusnya ada di sampingnya saat ini. Bukan dia. Andai aku menerima lamarannya saat itu.

Aku masih ingat kata-kata yang pernah diucapkannya untukku, bahwa seberapapun dia melangkah jauh, dia pasti akan selalu kembali padaku. Dan untuk pertama kalinya, aku melihat seorang lelaki menangis. Tangisan itu bukan untuk ibunya atau perempuan manapun. Tapi untukku.

Brengsek!! Sekarang semua kata-kata itu cuma kepingan asa tanpa nyata. Dan setiap orang bisa berubah. Bahkan dalam hitungan detik.

Rasanya aku ingin teriak sekencang-kencangnya, hingga dia mendengarku.

“Kenapa harus aku yang mengalami semua ini??”

“Kenapa aku harus mencintaimu dulu??”

Aku benci keaadanku yang seperti ini. Katakan, harus berapa lama lagi agar dia bisa pergi dari hidupku. Atau kah aku harus meminta seseorang melamarku saat ini juga??

Pikiran macam apa itu?? Aku tidak akan membiarkan diriku terjebak pada pikiran-pikiran bodoh, hanya karena ingin melupakannya.

Aku benar-benar ingin melupakannya.

Aku ingin isi hatiku hanya terisi oleh rasa benci untuknya..

Ya, hanya Benci.

Aku benci dia!!!

Mei 08

UNJUK RASA YANG MATI RASA

Unjuk rasa atau demonstrasi ("demo") adalah sebuah gerakan protes atau aksi dukungan terhadap suatu kebijakan yang dilakukan sekumpulan orang, dengan satu misi atau tujuan dan pendapat yang sama di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut, menentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak ataupun menyikapi suatu peristiwa yang bersifat sosial dan berpengaruh bagi sekelompok massa.

Pada umumnya, unjuk rasa dilakukan oleh mahasiswa yang menentang kebijakan-kebijakan pemerintah dan merasa tidak puas dengan suatu keputusan yang diambil oleh pihak tertentu. Atau para buruh yang melakukan aksi protes yang tidak puas dengan atasannya. Aksi ‘demo’ juga banyak dilakukan oleh berbagai pihak dengan berbagai tujuan.

Namun dalam hal ini yang ingin saya fokuskan adalah aksi demo yang dilakukan banyak mahasiswa. Sebelum itu, saya ingin menjelaskan sedikit tentang status mahasiswa terlebih dahulu. Mahasiswa pada dasarnya adalah pelajar yang masih terdaftar secara sah di suatu perguruan tinggi dengan menghabiskan biaya kuliah lebih dari tiga juta setiap tahunnya (termasuk ongkos, jajan dan bensin atau keperluan anak kos lainnya), yang seluruh biaya itu masih berasal dari orang tua atau bahkan ada yang sudah dapat memenuhi seluruh biaya tersebut dengan jerih payah sendiri. (hebat!).

Sebagai pelajar, tentu saja kegiatan utamanya adalah belajar, menimba ilmu, menyimak materi dari dosen, mendiskusikannya bersama teman-teman mahasiswa lainnya, kemudian mempraktekannya pada kerja lapangan dan akhirnya setiap mahasiswa dapat menyelesaikan studinya dengan nilai skripsi yang bagus dan membanggakan (setidaknya IPK yang didapat min 3,00). Namun, dunia kampus tidak lah hanya sekedar proses belajar mengajar dalam ruang kelas saja. Kita menyadari bahwa ilmu bisa didapat dari mana saja. Termasuk kegiatan ekstra kampus. Seperti BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) bagi mahasiswa yang berpikiran kritis dan sangat tertarik pada dunia politik, UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) bagi mahasiswa yang aktif di bidang olah raga, seni dan sebagainya, atau LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) bagi mahasiswa yang memiliki jiwa wartawan dan menjunjung tinggi integritas jurnalis dengan sikap netral dan empati.

Kalau pada saat masa sekolah, kita cenderung cuek dan tidak perduli dengan sekeliling, tetapi ketika memasuki dunia perkuliahan, kita mulai memperhatikan apa saja yang terjadi di sekeliling (atau mungkin hanya segelintir mahasiswa saja). Mulai dari hal kecil seperti kinerja dosen dan birokrasi kampus sampai hal-hal yang berkenaan dengan pemerintahan dan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum. Awalnya, hal-hal tersebut hanya dibahas dengan sesama kelompok seperti obrolan biasa. Kemudian dari obrolan biasa itu, terlihat lah orang-orang yang memiliki pandangan dan persepsi yang beragam namun tidak sedikit yang berpikiran sama. Kemudian mereka bersatu menjadi sekelompok massa membentuk berbagai organisasi terstruktur. Dengan menetapkan visi, misi serta ADRT (Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga) melalui musyawarah besar (sebagaimana yang tertulis ‘abadi’ pada Pancasila, sila ke-4, masih hafal bukan?). Yang selanjutnya mereka wujudkan dengan melakukan gerakan-gerakan mahasiswa.

Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, dan menjadi salah satu bentuk pergolakan bagi mereka yang merasa ‘terzolimi’ dengan adanya berbagai kebijakan, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa.

Mungkin sebaiknya kita sedikit melirik dan kembali ke masa sejarah bangsa Indonesia. Kita tentu masih ingat sosok Budi Oetomo. Budi oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya. Berikut adalah beberapa catatan sejarah mengenai bagaimana perjalanan gerakan mahasiswa yang saya kutip dari beberapa sumber yang pastinya dapat dipercaya keakuratan datanya, dan dapat dicek dibeberapa situs. (itupun jika anda berniat untuk menelaah lebih jauh).

Pada periode 1978-1988, gerakan mahasiswa banyak yang mengalami "Pendalaman Internal" dalam bentuk maraknya kelompok studi di kampus-kampus dan hidupnya aktivitas pers mahasiswa. Pers mahasiswa sendiri melihat suatu peristiwa dari kacamata 2 lensa. Artinya, mereka menguak suatu kasus dengan berimbang dari berbagai sudut pandang, melakukan pendalaman informasi yang kemudian menyampaikan dan menyebarkannya kepada mahasiswa lain. Dari informasi yang didapat melalui pers mahasiswa tersebut selanjutnya akan ditindak lanjuti oleh mahasiswa lainnya dengan berbagai sikap.

Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi (1974).

Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.

Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan mengeluarkan kebijakan Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menanggapi SK tersebut. Mereka yang menerima Sk tersebut, mengakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.

Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus.

Itu adalah sekilas mengenai bagaimana sejarah pergerakan mahasiswa. Seiring berjalannya waktu, dan manusia kini semakin luas jalan pikirannya. Gerakan mahasiswa seperti aksi demonstrasi atau unjuk rasa kini semakin diragukan integritasnya. Betapa tidak, beberapa aksi tersebut ada yang di‘sogok’ oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Bahkan, beberapa orang aktivis kampus membenarkan adanya ‘Suplier’ untuk para pengunjuk rasa di beberapa aksi.

Bagi seorang aktivis (aktivis kampus khususnya) yang memang benar-benar menjunjung tinggi idealisme, betapa sangat disayangkan tindakan-tindakan seperti itu. Bukan pihak-pihak yang memanfaatkan para demonstran, namun mahasiswa-mahasiswa yang mau dan sangat senang hati menjual harga diri idealisme mereka demi sejengkal perut. Beberapa dari mereka mungkin memiliki pikiran ‘cetek’ bahwa hanya orang bodoh yang menolak rezeki yang menghampiri. Dan siapa juga yang tahan berdiri dengan peluh keringat membasahi tubuh ditengah teriknya matahari hingga sang mentari merunduk dengan perut kosong. Berkoar-koar meng-orasikan apapun yang menjadi tuntutan, tanpa ada air sejuk yang mengguyur tenggorokan. Begitu lah kira-kira logikanya.

Jika pikiran tersebut hanya ada pada personal masing-masing mahasiswa yang mangaku aktivis, mungkin masih bisa dimaklumi. Namun apa jadinya kalau aksi tersebut justru berasal dari satu lembaga atau organisasi. Para ‘suplier’ membayar lembaga tersebut untuk melakukan aksi menentang suatu pihak. Ck..ck..ck.. yang ada dalam pikiran saya adalah, “Dimana prinsip-prinsip idealis aktivis sejati serta motto yang menjunjung kata ‘independen’ setinggi langit itu??”. Kalau letak masalahnya ada pada financial, Hellow…jangan pernah mengharapkan segepok uang dari sebuah organisasi, apalagi hanya organisasi intra kampus, justru kita lah yang sebenarnya harus merogo kocek dalam-dalam demi tetap tegaknya lembaga/organisasi tersebut. Seperti pepatah, masih banyak jalan menuju Roma. Masih banyak cara lain untuk mendapatkan dana atau apapun itu, daripada menempuh jalur yang sama sekali bertentangan dengan nilai-nilai perjuangan. Mungkin hanya segelintir aktivis kampus yang masih memegang teguh prinsip tersebut. Sementara sisanya, hanya mengandalkan pepatah lain yang bunyinya, tak ada akar maka rotan pun jadi.

Kalau diibaratkan, pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dan menjadi ‘penyokong’ financial yang entah demi kepentingan apa, seperti sedang bermain panggung boneka. Dimana ia memegang kendali dari seutas tali yang mampu menggerakkan boneka-boneka ‘demonstran’ sesuka hati nya. Dan baru akan berhenti jika tali itu putus.

Aksi-aksi yang banyak dilakukan para mahasiswa saat ini seperti mati rasa! Artinya, beberapa aksi tidak pernah dituntaskan hingga ke akar-akarnya. Saya misalkan, seorang mahasiswa sebut saja Ucok. Ia berasal dari daerah yang menimba ilmu perguruan tinggi di Kota. Dengan biaya ongkos, makan sehari-hari serta segala ‘tetek-bengek’ akademis yang pas-pasan. Mending juga jika ia cukup pintar dan rajin kuliah. Melihat teman-temannya yang masuk ke sebuah organisasi yang ia rasa cukup untuk membuatnya tampak garang, maka ia pun turut serta mengikuti jejak teman-temannya. Benar-benar tidak punya tujuan khusus. Sekedar ikut-ikutan.

Suatu hari, organisasi tempat ia bernaung mangadakan aksi penolakan kenaikan BBM (contohnya). Dengan semangat yang luar biasa ia ikut ber-orasi hingga urat nadi nyaris putus. Ikut melakukan long march ke jalan manapun, dan ikut berdesak-desakan hingga jika perlu ikut saling timpuk dengan aparat. Yang ada dalam pikirannya tentang kenaikan BBM adalah hanya ikut meng‘iya’kan apa yang menjadi pendapat dan argument rekan-rekannya. Atau istilahnya ‘copy paste’ kemudian ia ‘forward’ ke semua mahasiswa yang ia kenal. Hingga banyak mahasiswa berpikir bahwa Ucok adalah aktivis kampus yang cukup kritis dalam mengeluarkan pendapat. (Aplause buat si Ucok!).

Ketika matahari mulai meredup, dan aksi usai dilaksanakan. Ucok kembali ke kostannya dan langsung tertidur pulas. Esok harinya, ia menceritakan kronologis aksi kepada teman-temannya dengan sedikit berbangga hati, bahwa ia rela bolos kuliah demi melakukan aksi, menyuarakan hati rakyat banyak. Belum lagi jika seadainya dalam aksi itu terjadi bentrok dengan aparat (yang juga manusia, memiliki kadar kesabaran yang sama dengan orang pada umumnya), yang menyebabkan dahi si Ucok bersimbah darah dan harus segera dilarikan ke Rumah sakit dengan menelan biaya yang tidak sedikit. Bukankah semakin menambah beban orang tua bukan? Sungguh perbuatan yang luar biasa. Setelah itu ia kembali ke kegiatan sehari-harinya. Kuliah (yang kadang masuk-kadang tidak), nongkrong dengan teman-teman, cekakakan dengan mulut yang entah berapa ukuran lebarnya, mencaci maki habis kecacatan negara, dst, dst.

Ia tidak pernah berpikir ke depan bagaimana kelanjutan aksi tersebut. Dan sama sekali tidak pernah berpikir untuk memberikan solusi kepada pemerintah bagaimana caranya agar BBM tidak perlu dinaikkan. Serta solusi-solusi masalah lain yang sebenarnya bisa ia dapatkan dari berbagai pengamatan dan riset. Mungkin kalau memberi solusi dirasa cukup berat dan bukan bidangnya (walaupun yang diharapkan dari setiap permasalahan adalah solusi), ia seharusnya bisa memberikan banyak hal sebagai tindak lanjut dari aksi tersebut dengan berbagai usaha, dan tidak berhenti seketika itu juga. Banyak cara untuk melakukan hal itu. (Jika ia benar-benar memikirkannya).

Percaya atau tidak, ketika mahasiswa melakukan aksi protes, mereka yang berkuasa hanya menggoyang kaki sambil mengepulkan asap-asap rokok dengan santainya di ruangan mereka. Saya yakin mereka berpikir bahwa, aksi tersebut tidak akan berpengaruh apa-apa. Paling-paling hanya akan mengganti pintu pagar gerbang yang rusak karena di dobrak massa. Setelah lobi beberapa kalimat dan massa sudah tenang, maka mereka juga akan kembali ke rumah mereka masing-masing tanpa takut akan adanya ancaman susulan dari aksi tersebut.

Seandainya, para pahlawan baik itu pahlawan revolusi, pahlawan reformasi, pahlawan HAM melihat kita yang seperti ini (saya bingung untuk menyebutkan seperti apa), mereka mungkin akan menangis dalam kubur. Betapa tidak, jika hanya segelintir orang-orang saja yang memiliki jiwa pahlawan yang mereka turunkan. Dan hanya segelintir orang-orang saja yang perduli akan nasib bangsa ini. Selebihnya, persis seperti lirik yang ada dalam lagu Slank, tong kosong nyaring bunyinya, otaknya tong kosong banyak bicara, oceh sana-sini tak ada arti…

Sebagai mahasiswa yang setidaknya sudah memiliki intelektual pikiran lebih dari masyarakat awam, kita tentu menyadari bahwa seharusnya kita juga ikut memikirkan bagaimana caranya agar Negara ini bisa keluar dari ‘kegelapan’ dan bersama-sama mencari secercah sinar kesejahteraan untuk masa depan yang lebih baik, dengan cara-cara yang lebih konkrit sifatnya. Memanfaatkan ilmu yang kita dapat untuk mewujudkannya. Memotivasi diri dari banyak tokoh. Dan merealisasikannya sejak dini, membenahi dari diri kita sendiri. Toh, mahasiswa adalah generasi yang kelak akan mengganti mereka. Saya tidak mengutuk unjuk rasa yang banyak dilakukan mahasiswa, saya hanya menyayangkan jika unjuk rasa tersebut hanya sebatas unjuk rasa. Saya juga berharap semoga rekan-rekan aktivis tidak pernah mati rasa. Dan semoga saja tidak ada lagi Ucok-Ucok berikutnya.



September 08

Orang-orang Itu???

Usia ku kini 21 tahun, tepat tanggal 23 Juli lalu. Usia yang seharusnya aku sudah bisa berpikir dan memutuskan apapun yang aku inginkan di hidupku. Semakin lama aku hidup di dunia ini, aku semakin bisa melihat apapun yang ingin ku lihat. Bahkan yang seharusnya tidak ingin aku lihat. Aku juga semakin mengerti mengapa manusia diciptakan berbeda-beda. Dan karena terlalu banyak perbedaan, maka semuanya menjadi semakin samar untuk ku kenali. Atau hanya aku saja yang terasa asing jika berdiri dengan mereka yang beda denganku.

Pada dasarnya, aku sama sekali tidak pernah keberatan dengan triliunan perbedaan yang ada di bumi ini, hanya saja, kadang aku tidak paham mengapa mereka tidak berpikir seperti ku. Mengapa mereka tidak mengikuti ku. Gimana mau ikut, jika aku tidak pernah sejalan dengan mereka. Aku juga heran, apa sih yang ada dipikiran mereka?? Atau aku lah yang harus mengikuti mereka agar aku bisa diterima, hingga akhirnya aku masuk dalam sebuah lubang kemunafikan yang sama seperti mereka. Ups, tentu tidak!

Aku tahu, mereka pasti berpikir kalau aku juga termasuk orang-orang munafik sama seperti mereka. Tapi ada satu hal yang perlu mereka ingat, bahwa orang-orang munafik yang sebenarnya adalah mereka yang mengelak dari kenyataan, mereka yang merasa paling benar, mereka yang selalu berpikir negative, mereka yang selalu memikirkan kesalahan orang lain tanpa menyadari kesalahan mereka sesungguhnya. Dan yang lebih parah lagi adalah mereka yang sudah jelas-jelas salah namun berusaha menutupi kesalahannya dan melemparkan kesalahan itu pada orang lain, yang kemudian mereka akan menghilangkan diri perlahan-lahan seperti seekor kucing yang mengendap-endap mencuri ikan dan ngeloyor begitu saja setelah puas mendapatkan apa yang ia inginkan.

Agustus 08