Jumat, 28 November 2008

Empat Perempuan


Empat Perempuan

Untuk pertama kalinya aku sadar bahwa kini aku tak lagi hidup di zaman sebelum masehi. Terlalu banyak perubahan yang membuatku jengah. Perubahan yang terkadang membuat aku seakan terhanyut bahkan nyaris terjerumus dalam kubangan yang kerap mereka jajahkan. Ribuan bahkan jutaan warna-warni kenikmatan terhampar di depanku. Aku hanya tinggal memilih dan mengambil salah satunya untuk aku coba.

Jujur, semakin lama keadaan ini membuatku justru berada pada rasa takut. Takut ketika suatu hari nanti aku akan seperti orang-orang itu. Orang-orang sejenisku.

Para makhluk Tuhan yang disebut dengan perempuan. Sang pendamping kaum Adam.

Setiap hari halte itu tak pernah sepi dari penunggunya, yang sebagian besar adalah kaum hawa. Waktu masih menunjukkan pukul 07.10 WIB pagi. Ada beberapa orang yang sebenarnya sudah tidak asing berada disitu. Empat perempuan di posisi yang berbeda. Setiap hari mereka menunggu di halte yang sama, walau dengan bus yang berbeda tujuan.

Dara

Seorang diantaranya baru saja tiba. Sesampainya di halte tersebut, ia disibukkan dengan rambutnya yang tergerai begitu saja. Ia tersenyum simpul menatap betapa cerahnya mentari hari ini. Dara, begitu panggilannya. Ia tampak cantik ketika itu. Bahkan di setiap harinya, ia adalah sosok yang selalu tampak menarik. Tubuhnya terawat sangat baik. Nyaris tanpa cacat. Cantik.

Ada yang berbeda darinya hari itu. Ia tidak sedang menunggu bus. Seorang lelaki muda dengan mengendarai sepeda motor “jetmatic” mengampiri Dara. Ia kelihatan sangat bahagia. Ternyata lelaki itu adalah kekasihnya. Sejak saat itu, Dara tidak pernah menumpang bus lagi. Lelaki itulah yang sedia menghantar kemanapun Dara ingin pergi. Meski ia tetap harus menunggu kekasih hatinya di halte seperti biasa. Bukan masalah besar baginya.

Hubungan mereka terjalin hingga tiga tahun lamanya. Dan dua tahun terakhir, terlihat begitu banyak perubahan dalam hidup Dara. Bukan hanya tentang penampilannya yang kini tak semenarik tiga tahun yang lalu, tetapi juga terlihat pada bentuk fisiknya. Tubuh yang dulu bak gitar spanyol, kini persis seperti Cello. Lebih berisi di areal pinggul saja. Wajahnya memang masih cantik namun tidak lagi bersinar. Kehidupan Dara berubah 180 derajat. Dalam dunianya seperti hanya ada Ia dan kekasihnya, tidak ada tawa dari teman-temannya lagi, atau bahkan dari keluarganya sendiri. Dara seperti menenggelamkan diri dalam alam cinta yang ia selami sampai dasar yang paling akhir. Dara yang dahulu jarang sekali mengenal sosok pria, kini justru tidak pernah lepas dari sosok pria. Pria yang hanya lebih tua 2 tahun darinya. Pria yang tidak jelas pekerjaannya apa dan dimana. Pria itu bernama Haris.

Lelaki setampan dan sekaya apapun yang datang dan mencoba untuk mencuri hati Dara, sepertinya sudah tidak ada pengaruhnya lagi. Di matanya hanya ada Haris. Tapi apa memang ada, cinta sedahsyat itu? Cinta yang telah membutakan mata Dara. Cinta yang membuatnya hanyut dalam buaian, hingga ia tak lagi bisa memikirkan apa yang harus ia serahkan dan apa yang seharusnya tidak ia serahkan. Hingga ia tak lagi bisa membedakan bagian tubuh mana yang seharusnya masih ia jaga, dan mana yang seharusnya ia bebaskan, pada lelaki itu.

Dini

Berdiri tepat di sebelahnya, seorang gadis belia berseragam putih abu-abu. Dari penampilannya saja, dengan rambut kemerah-merahan, kemeja putih ketat dipadu rok abu-abu mini lima jari di atas lutut, sepatu kets dan tas sandang bermerek, sudah bisa di lihat bahwa ia bukan gadis biasa. Namanya Dini. Usianya baru genap 16 tahun. Jemari lentiknya sibuk menekan tombol-tombol yang ada pada telepon genggamnya. Yang jika ditaksir, harganya bisa mencapai dua jutaan. Sebuah harga yang tidak mungkin ia capai hanya dengan mengumpulkan uang jajan setiap hari. Sesekali ia tersenyum geli membaca balasan pesan singkat dari seberang sana. Dini berasal dari kelurga yang sangat sederhana. Ia hanya tinggal berdua dengan ibunya di sudut Kota, melewati gang-gang sempit yang padat penduduk. Mereka hidup dari warung kopi milik ibunya. Warung yang selalu ramai dikunjungi oleh lelaki-lelaki hidung belang yang selalu menggoda Ibu. Dan Ibu sepertinya juga sangat menikmati kesehariannya itu.

Selang beberapa menit, sebuah sedan mewah menghampiri Halte. Dini tersenyum genit, ketika si pengemudi membuka kaca mobilnya. Tampak seorang lelaki paruh baya, yang usianya bisa dibilang sepantaran dengan ayahnya.

Tanpa basa-basi Dini langsung masuk ke dalam mobil. Dalam sekejap mata, kendaraan itu hilang bersama deru asap dari panasnya cuaca pagi itu. Jauh dalam relung hati nya, ada rentetan airmata yang siap jatuh kapan saja. Bahkan di tengah tawanya sekalipun, ia merasa ada sebuah penyesalan yang kian menggunung. Ia begitu ingin seperti teman-teman seusianya. Namun apa mau dikata, Tuhan sepertinya tidak ingin Dini bernasib sama seperti mereka. Lama ia memandangi setumpuk kertas berwarna biru di genggamannya. Bukan karena bingung harus kemana ia habiskan uang itu. Tapi ia merasa, kapan semuanya akan berakhir. Ia lelah, namun tidak kuasa menghindari semua. Di atas atap sebuah gedung usang, Ia berteriak sekencang-kencangnya. Kenapa harus aku yang mengalami semua itu? Kenapa aku harus dilahirkan di dunia ini, jika hanya akan mengotori keindahannya? Kenapa Tuhan tidak mencabut nyawaku saja?

Tapi Dini hanya seorang gadis kecil. Yang ia butuhkan kelak hanyalah tangan seseorang yang akan membantunya keluar dari tempat yang gelap. Karena betapapun ia berusaha keras untuk mencoba sendiri keluar dari tempat itu, ia takkan mampu tanpa orang-orang yang mencintainya.

Wulan

Tidak jauh dari tempat Dini, seorang wanita usia 30-an berdiri gelisah. Menanti bus yang sedari tadi tak kunjung datang. Rambutnya yang tak tertata rapi, pakaiannya yang sangat tidak bergaya, ditambah kacamata tebal, membuat siapapun lelaki yang melintas enggan untuk menghampirinya, bahkan untuk meliriknya saja, mungkin mereka takkan sudi.

Wulan, begitu nama yang tertera di atribut sebelah kiri bajunya.

Separuh hidupnya ia habiskan hanya untuk karir dan pekerjaan. Tumpukan berkas-berkas sudah siap menantinya di atas meja kerjanya. Belum lagi ia harus menghadapi atasan yang extra perfectionist, mewajibkan seluruh bawahannya untuk berkerja sesempurna mungkin. Tidak boleh ada kesalahan sekecil apapun. Berkerja dengan waktu hampir 12 jam setiap hari. Ia bahkan tidak pernah sekalipun merasakan cinta dari lawan jenisnya. Hidupnya terlalu monoton. Ia tidak pernah merasakan bagaimana indahnya mencintai dan dicintai seseorang. Cinta seperti sudah jengah menunggunya. Menunggu untuk ia cicipi. Sifat tak acuhnya membuat semua cinta itu pergi. Kini hanya rasa sepi, setiap kali ia menerima undangan pernikahan dari rekan sejawatnya.

Perlahan ia masuk kedalam kamar sang calon pengantin. Sahabatnya tampak begitu cantik mengenakan kebaya putih bersiap-siap untuk mengikrarkan janji sehidup semati. Ia peluk sahabatnya dengan erat. Satu lagi, sahabatnya mengambil keputusan yang seharusnya ia ambil sejak dulu sebagai wanita. Yaitu menjadi istri dan kelak menjadi ibu. Ia menatap lekat kedua mata indah sahabatnya. Dalam tatapannya, sang sahabat berkata...

Kau juga harus sepertiku. Cinta itu masih ada, jika kau mau mengejarnya. Hanya butuh sedikit perubahan untuk itu…

Mereka kembali berpelukan. Sesekali ia menyeka tangis, melihat sepasang manusia di depannya yang tengah disumpah menjadi suami istri. Tapi bukan tangis bahagia yang ia rasakan, tetapi justru tangis kesunyian hatinya. Ia tidak tahu siapa kelak lelaki yang akan mendampinginya untuk duduk di depan sana. Ia bahkan tidak tahu, apakah cinta itu memang masih ada untuknya, atau tidak sama sekali.

Yulia

Jarak dua meter dari tempat Wulan berdiri, seorang Ibu duduk dengan tenang. Ia sepertinya sedang tidak terburu-buru pagi itu. Sebuah keranjang yang terbuat dari anyaman pandan, setia menemaninya menunggu bus. Kedua bola matanya tampak menatap hening jalan raya. Ada sesuatu yang ia pikirkan. Hatinya begitu gundah, meski ia sudah berusaha menutupinya dengan senyuman tulus kepada orang-orang yang menyapanya dengan panggilan Bu Yulia, sepanjang perjalanan dari rumah menuju halte. Ia juga selalu tetap ceria di depan ke tiga Putranya. Ia tidak ingin siapapun tahu tentang perih yang ia rasakan.

Perih yang ditorehkan dari ketidaksetiaan suami yang ia cintai selama 21 tahun. Selama 21 tahun tersebut, ia masih tetap mencintai suaminya. Meski sebuah goresan luka takkan hilang terhapus masa. Janji suci yang sudah ia ucapkan puluhan tahun itu, tidak pernah goyah. Bahkan ia selalu berpura-pura tidak mengetahui perbuatan suaminya, seperti layaknya seorang aktris yang sedang berakting. Kata maaf seperti sudah menjadi obat tidur yang selalu bisa menenangkan disetiap tidur malamnya. Bagi Yulia, suami seperti sayap kanannya. Jika sebelah sayap itu tidak ada, maka ia bisa mati. Ia sama sekali tidak mengutuk wanita lain yang menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya, ia juga tidak mengutuk perbuatan suaminya yang sudah mengkhianatinya lebih dari 6 tahun. Ia hanya menyesalkan, mengapa ia tidak bisa jadi seorang istri yang bisa menjaga hati suaminya. Mengapa ia tidak bisa menjadi istri yang sempurna untuk suaminya. Apa dan siapa yang bersalah, ia juga sama sekali tidak mengerti. Dalam benaknya, hanyalah keinginan agar keluarganya tetap utuh sampai ia tak lagi bisa melayani suami dan anak-anaknya lagi. Sampai maut menjemputnya.

Di tengah malam yang semakin larut, Yulia masuk kedalam kamar anak-anaknya satu demi satu. Sebelum mengecup kening mereka, ia berbisik lembut dan menyampaikan pesan yang akan selalu diingat oleh ketiga putranya, tidak hanya dalam tidur mereka, namun dalam kenyataan yang kelak akan mereka hadapi.

Jika wanita adalah sebuah pintu, maka pria adalah kuncinya. Sampai kapanpun takkan bisa dibuka oleh kunci yang lain, jika wanita itu sudah menemukan kunci yang tepat untuknya.

Empat perempuan itu hanyalah segelintir contoh perempuan yang aku temui di sepanjang perjalanan hidupku. Lantas, aku perempuan seperti apa?? Yang jelas aku tidak ingin seperti ke empat perempuan itu. Sekalipun aku bukan perempuan sempurna, sama seperti mereka.

Aku hanya bisa berusaha untuk jadi perempuan sebaik mungkin bagi siapapun, bukan hanya bagi pasanganku. Walau bukan yang terbaik. Selanjutnya, apa yang akan terjadi esok, lusa dan seterusnya, biarlah menjadi sebuah misteri. Karena bagi perempuan seperti ku, perempuan yang tidak sempurna ini, hanya bisa berusaha dan berdoa. Semoga Tuhan selalu menjagaku. Dan terus membimbingku. Agar apa yang aku pertahankan selama ini, akan dan tetap terjaga sampai aku menemukan pasangan hidupku. Dan jika kelak lelaki itu sudah berada di depan mataku, aku ingin ia hanya mencintai ku.

Mencintai apa adanya diriku. Mencintai kelebihanku, menutupi kekuranganku. Sampai ia mati. Begitu juga sebaliknya. Aku ingin Tuhan selalu menjaga hatiku, agar aku hanya akan mencintai suamiku. Siapapun dia. Semoga.



26 November 2008


Rabu, 15 Oktober 2008

Sandwich Tanpa Isi

Pagi itu, mentari tengah berada pada waktu Dhuha. Aku masih terbaring lelap dalam tidur dengan mimpi kosong. Tiba-tiba dering telphon membuat aku seketika terjaga. Jarak suara itu dengan tempat ku terbaring terlalu jauh, hingga rasanya aku malas untuk menggapainya, hanya sekedar untuk mengatakan “hallo.” Beberapa kali suara itu berteriak, tetap tidak ada seorang pun yang berusaha membungkamnya. Akhirnya dengan mata yang masih sembab, dan langkah yang sedikit sempoyongan, aku berjalan menuju benda yang sedari tadi berbunyi.

“Hallo…” dengan suara yang masih parau, aku coba membuka percakapan.

“Hallo Assalamu’alaikum…” terdengar sebuah jawaban.

“Wa’alaikum salam…” Aku mengucek mata berusaha memastikan bahwa aku sudah tidak dalam keadaan tidur.

“Bisa bicara dengan Sierly..?” suaranya yang berat menandakan bahwa aku sedang berbicara dengan seorang lelaki dewasa. Tapi siapa dia??

“Ya, ini sierly sendiri, ni siapa ya??”

“Ini Rian, Sier…Tmn SMP dulu, tapi kita beda kelas.”

“Rian?? Rian yang mana ya??” Tanya ku masih di antara sadar dan tidak sadar.

“Rian temen sekelas Retno, kelas III-4 itu lho, Sier..”

“Oh, iya..ya.. Apa kabar??” jawabku lagi, dengan otak yang masih berputaar-putar mencoba mengingat sosok Rian. Terus terang saja, aku masih lupa. Tapi dari pada aku menyinggung perasaannya, lebih baik aku pura-pura sudah ingat saja. Sesaat aku memang berusaha keras mengingat dia, apakah Rian yang memiliki postur kurus, bermata sipit, berkulit putih dengan aksen yang sedikit kewanita-wanitaan itu. Atau Rian yang berpostur sedang, berkulit putih juga, agak pendiam tapi cukup nakal di sekolah.

Hmm…entahlah.

Yang aku ingat adalah, dulu aku dan Rian tidak pernah berteman dekat, bahkan untuk sebuah teguran saja rasanya jarang sekali. Lalu kenapa ia bisa menelpon ku? Padahal aku tidak pernah memberikan nomer rumah ku padanya. Usut punya usut ternyata ia mengetahuinya dari Retno. Tapi kenapa tiba-tiba saja ia menelpon ku? Karena seingat ku lagi, sudah hampir 7 tahun aku terpisah dengannya. Dan selama itu, sedetik pun aku tidak pernah mengingatnya. Lalu kenapa dia tiba-tiba mengingatku?

Suaranya yang berat, membuat hati ku masih tetap bertanya-tanya apakah aku memang sedang berbicara dengan Rian? Bukan karna aku merasa ada yang berubah darinya, tapi aku memang tidak tanda dengan suaranya. Ya karna memang aku tidak pernah mendengar suaranya sebelumnya. Setelah bicara cukup lama, barulah aku sadar bahwa ia memang benar-benar Rian.

Dia memang sudah berubah. Tidak di sangka, Rian yang dulu ku tahu adalah sosok cowok yang tidak banyak bicara tapi cukup nakal karna sering bolos juga, kini sudah hampir 3 tahun menjadi seorang AURI atau Angkatan Udara Republik Indonesia. Dan kini ia dinas di Yogyakarta.

Sejurus kemudian, seperti ada sesuatu yang tiba-tiba membuatku terhenyak heran. Ketika ia berkata tentang alasan mengapa ia bisa tiba-tiba menghubungiku. Beberapa waktu lalu, ia bermimpi tentangku. Dalam mimpinya, aku berkata kalau aku akan selalu menunggunya kembali. Dan sejak mimpi itu, ia selalu beranggapan mungkin aku adalah jodohnya. Sekarang ia kembali ke Medan untuk liburan, sekaligus khusus mencariku.

Rian begitu yakin kalau aku adalah sosok yang selama ini ia cari. Dan pagi itu juga, ia langsung mengutarakan maksudnya untuk memberikan ia kesempatan menjadi kekasihku. Walah… udah gila kali yha??

Semakin lama ia semakin serius dengan keinginannya itu. Sementara aku, tidak bisa berkata apa-apa selain mencoba tetap menyadarkan diri, bahwa aku tidak sedang bermimpi.

Hanya dalam kurun waktu beberapa hari, dia sudah bisa mengambil hati orang tuaku. Dia bahkan cukup nekat bicara dengan orang tuaku tentang keseriusannya untuk berhubungan denganku. Dengan pakaian dinasnya yang serba biru, plus pangkat Serda (Aku sendiri nggak ngerti setinggi apa sih pangkatnya itu??), tentu saja orang tuaku sumringah mendengarnya. Apalagi ayahku, dia malah menasehatiku macam-macam, kalau inilah saatnya aku memiliki seseorang yang benar-benar bisa mengayomiku Bla..bla..bla….

Oke... Aku akui, awalnya aku salut empat jempol untuknya. Dia cowok pemberani bahkan melebihi pahlawan bertopeng manapun. Dan memang baru dia cowok yang cukup handal berkompromi dengan ayahku panjang lebar. Malah belum ada mantan pacarku yang seperti itu, bahkan Edwin yang sempat berhubungan 4 tahun itupun sangat tidak pernah berbuat itu. (Hhh… kenapa harus inget dia lagi sih?!)

Dia hanya punya waktu beberapa hari di Medan. Dan selama beberapa hari itu, dia lebih banyak menghabiskan waktunya denganku. Banyak hal yang ia bicarakan. Sangat banyak sekali. Seputar kegiatannya disana. Bagaimana dia bisa lulus AURI. Dan yang paling membuatku pusing adalah tentang planing dia untuk segera menikah di tahun 2010. Padahal aku belum menerima dia jadi apapun. Tapi apa yang dia bilang seolah-olah aku sudah resmi jadi calon istrinya. Dia juga bilang, kalau seorang istri AURI harus seperti ini, seperti itu. Pliz dech bho!!!

Pada pertemuan ketiga, aku langsung dibawa ke keluarga besarnya. Dimana disitu ada orang tuanya, neneknya, paman, bibi dll. Dan dengan santainya dia memperkenalkan aku sebagai calonnya. Seluruh darahku rasanya seperti turun ke ujung kaki. Sendi-sendi ku terasa ngilu. Kepalaku dipenuhi kunang-kunang yang tertawa-tawa melihat mukaku yang pucat. Aku mau pingsan saja rasanya. Saat itu rasanya aku cuma ingin berteriak “Ooh…Tidak!!!”

Walaupun aku hanya mengenalnya dalam waktu beberapa hari. Aku sudah bisa membaca semua sifatnya. Pemarah, sedikit angkuh, possesif, terlalu serius, dan terlalu banyak berkhayal! Malah khayalannya tinggi kali pula tuh…

Mungkin aku memang sedikit matre (Hari gini mana ada sih cewek yang cuma mau makan cinta mentah-mentah, itu bagi mereka para wanita yang mau memikirkan masa depannya), tapi aku juga bukan cewek yang gila harta atau pangkat dari seorang lelaki. Rasa sayang itu juga harus ada. Dan aku sadar, kalau aku memang tidak bisa memaksakan hatiku untuk bisa memiliki rasa itu untuk Rian. Akhirnya aku memutuskan untuk bicara semuanya ke dia, tentang apa yang aku rasakan. Tentang bagaimana aku sebenarnya, dan tentang orang lain yang sudah mengisi hatiku.

Aku tidak bisa membayangkan kalau Rian jadi suamiku. Apa jadinya gelar S.Sos ku, apa jadinya semua karirku, impianku. Oh No Way!

Jodoh memang di tangan Tuhan, tapi untuk kali ini, aku lah yang harus menghentikan jodoh itu, kalau Tuhan sudah merencanakan Rian adalah salah seorang jodoh yang harus ku pilih.

Pliz Allah… beri aku lelaki yang lain saja!!

Saat ini yang ada di hatiku cuma Eko. Meskipun dia jauh, tapi aku bisa jauh lebih nyaman untuk berbagi apapun dengannya. Aku bisa jadi diri aku sendiri. Dia selalu bisa jadi air ketika bara api menyelimutiku. Walaupun dia punya segudang kesibukan, tapi dia akan tetap mencariku ketika aku membiarkan dia melakukan kegiatannya tanpa mengganggunya dengan suara dering handphone.

Dalam penglihatanku, Rian seperti sepotong sandwich. Ia begitu terlihat lezat dan menggoda untuk kucicipi, tapi terlalu hambar dan tanpa isi. Cinta tidak hanya bagaimana kita bisa menerima seseorang apa adanya. Tapi juga bagaimana caranya kita untuk membuat cinta itu menjadi sesuatu yang membuat perubahan positif dalam hidup kita.

Cinta itu lebih dari sekedar kata, ia harus bisa memberi kita banyak hal.

Cinta tidak hanya memberi kita rasa aman, tapi juga kenyamanan.

Kenyamanan untuk melakukan banyak hal yang kita suka, tanpa terbelenggu oleh rasa cinta itu sendiri.

Dan bagiku hal yang paling terpenting adalah aku akan merasa nyaman bersama orang yang aku sayangi dan menyayangiku. Siapapun dia.



Oktober 08

Benci Untuknya

Aku tidak mengerti dengan apa yang aku rasakan. Dan aku benar-benar tidak tahu ada apa sebenarnya dengan diriku. Aku membencinya. Sangat membencinya. Walaupun dulu aku begitu mencintainya hingga bertahun-tahun. Dan selama bertahun-tahun pula aku membiarkan cintanya tertanam erat dihidupku.

Disini, aku sendiri. Terbenam pada bayang-bayang masa lalu.

Ya, Tuhan.. aku sungguh-sungguh telah merelakannya memiliki pendamping lain. Bukan aku. Tapi kenapa bayangnya selalu tiba-tiba saja muncul. Bahkan disaat aku menyelami mimpi-mimpi dalam tidur lelapku.

Aku lelah.

Lelah memikirkannya.

Lelah menghapus segala kenangan itu.

Tapi kenangan itu terlalu banyak. Ratusan jumlahnya, bahkan ribuan. Dan tahukah kalian, hampir sebagian besar diary ku berisi tentang dia.

Seharusnya, kini aku juga bahagia sama seperti dia. Tapi mereka tidak pernah tahu, ada setetes air mata yang jatuh dihatiku setiap kali aku mendengar namanya. Padahal ini sudah hampir dua tahun kami berpisah. Atau aku hanya belum memberi kesempatan pada waktu. Waktu yang akan membawa ku melihat banyak hal.

Kadang ketika sepi itu mulai menggelayuti benakku, ada sesal dalam hati, bahwa aku lah yang seharusnya ada di sampingnya saat ini. Bukan dia. Andai aku menerima lamarannya saat itu.

Aku masih ingat kata-kata yang pernah diucapkannya untukku, bahwa seberapapun dia melangkah jauh, dia pasti akan selalu kembali padaku. Dan untuk pertama kalinya, aku melihat seorang lelaki menangis. Tangisan itu bukan untuk ibunya atau perempuan manapun. Tapi untukku.

Brengsek!! Sekarang semua kata-kata itu cuma kepingan asa tanpa nyata. Dan setiap orang bisa berubah. Bahkan dalam hitungan detik.

Rasanya aku ingin teriak sekencang-kencangnya, hingga dia mendengarku.

“Kenapa harus aku yang mengalami semua ini??”

“Kenapa aku harus mencintaimu dulu??”

Aku benci keaadanku yang seperti ini. Katakan, harus berapa lama lagi agar dia bisa pergi dari hidupku. Atau kah aku harus meminta seseorang melamarku saat ini juga??

Pikiran macam apa itu?? Aku tidak akan membiarkan diriku terjebak pada pikiran-pikiran bodoh, hanya karena ingin melupakannya.

Aku benar-benar ingin melupakannya.

Aku ingin isi hatiku hanya terisi oleh rasa benci untuknya..

Ya, hanya Benci.

Aku benci dia!!!

Mei 08

UNJUK RASA YANG MATI RASA

Unjuk rasa atau demonstrasi ("demo") adalah sebuah gerakan protes atau aksi dukungan terhadap suatu kebijakan yang dilakukan sekumpulan orang, dengan satu misi atau tujuan dan pendapat yang sama di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut, menentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak ataupun menyikapi suatu peristiwa yang bersifat sosial dan berpengaruh bagi sekelompok massa.

Pada umumnya, unjuk rasa dilakukan oleh mahasiswa yang menentang kebijakan-kebijakan pemerintah dan merasa tidak puas dengan suatu keputusan yang diambil oleh pihak tertentu. Atau para buruh yang melakukan aksi protes yang tidak puas dengan atasannya. Aksi ‘demo’ juga banyak dilakukan oleh berbagai pihak dengan berbagai tujuan.

Namun dalam hal ini yang ingin saya fokuskan adalah aksi demo yang dilakukan banyak mahasiswa. Sebelum itu, saya ingin menjelaskan sedikit tentang status mahasiswa terlebih dahulu. Mahasiswa pada dasarnya adalah pelajar yang masih terdaftar secara sah di suatu perguruan tinggi dengan menghabiskan biaya kuliah lebih dari tiga juta setiap tahunnya (termasuk ongkos, jajan dan bensin atau keperluan anak kos lainnya), yang seluruh biaya itu masih berasal dari orang tua atau bahkan ada yang sudah dapat memenuhi seluruh biaya tersebut dengan jerih payah sendiri. (hebat!).

Sebagai pelajar, tentu saja kegiatan utamanya adalah belajar, menimba ilmu, menyimak materi dari dosen, mendiskusikannya bersama teman-teman mahasiswa lainnya, kemudian mempraktekannya pada kerja lapangan dan akhirnya setiap mahasiswa dapat menyelesaikan studinya dengan nilai skripsi yang bagus dan membanggakan (setidaknya IPK yang didapat min 3,00). Namun, dunia kampus tidak lah hanya sekedar proses belajar mengajar dalam ruang kelas saja. Kita menyadari bahwa ilmu bisa didapat dari mana saja. Termasuk kegiatan ekstra kampus. Seperti BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) bagi mahasiswa yang berpikiran kritis dan sangat tertarik pada dunia politik, UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) bagi mahasiswa yang aktif di bidang olah raga, seni dan sebagainya, atau LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) bagi mahasiswa yang memiliki jiwa wartawan dan menjunjung tinggi integritas jurnalis dengan sikap netral dan empati.

Kalau pada saat masa sekolah, kita cenderung cuek dan tidak perduli dengan sekeliling, tetapi ketika memasuki dunia perkuliahan, kita mulai memperhatikan apa saja yang terjadi di sekeliling (atau mungkin hanya segelintir mahasiswa saja). Mulai dari hal kecil seperti kinerja dosen dan birokrasi kampus sampai hal-hal yang berkenaan dengan pemerintahan dan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum. Awalnya, hal-hal tersebut hanya dibahas dengan sesama kelompok seperti obrolan biasa. Kemudian dari obrolan biasa itu, terlihat lah orang-orang yang memiliki pandangan dan persepsi yang beragam namun tidak sedikit yang berpikiran sama. Kemudian mereka bersatu menjadi sekelompok massa membentuk berbagai organisasi terstruktur. Dengan menetapkan visi, misi serta ADRT (Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga) melalui musyawarah besar (sebagaimana yang tertulis ‘abadi’ pada Pancasila, sila ke-4, masih hafal bukan?). Yang selanjutnya mereka wujudkan dengan melakukan gerakan-gerakan mahasiswa.

Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, dan menjadi salah satu bentuk pergolakan bagi mereka yang merasa ‘terzolimi’ dengan adanya berbagai kebijakan, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa.

Mungkin sebaiknya kita sedikit melirik dan kembali ke masa sejarah bangsa Indonesia. Kita tentu masih ingat sosok Budi Oetomo. Budi oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya. Berikut adalah beberapa catatan sejarah mengenai bagaimana perjalanan gerakan mahasiswa yang saya kutip dari beberapa sumber yang pastinya dapat dipercaya keakuratan datanya, dan dapat dicek dibeberapa situs. (itupun jika anda berniat untuk menelaah lebih jauh).

Pada periode 1978-1988, gerakan mahasiswa banyak yang mengalami "Pendalaman Internal" dalam bentuk maraknya kelompok studi di kampus-kampus dan hidupnya aktivitas pers mahasiswa. Pers mahasiswa sendiri melihat suatu peristiwa dari kacamata 2 lensa. Artinya, mereka menguak suatu kasus dengan berimbang dari berbagai sudut pandang, melakukan pendalaman informasi yang kemudian menyampaikan dan menyebarkannya kepada mahasiswa lain. Dari informasi yang didapat melalui pers mahasiswa tersebut selanjutnya akan ditindak lanjuti oleh mahasiswa lainnya dengan berbagai sikap.

Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi (1974).

Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.

Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan mengeluarkan kebijakan Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menanggapi SK tersebut. Mereka yang menerima Sk tersebut, mengakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.

Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus.

Itu adalah sekilas mengenai bagaimana sejarah pergerakan mahasiswa. Seiring berjalannya waktu, dan manusia kini semakin luas jalan pikirannya. Gerakan mahasiswa seperti aksi demonstrasi atau unjuk rasa kini semakin diragukan integritasnya. Betapa tidak, beberapa aksi tersebut ada yang di‘sogok’ oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Bahkan, beberapa orang aktivis kampus membenarkan adanya ‘Suplier’ untuk para pengunjuk rasa di beberapa aksi.

Bagi seorang aktivis (aktivis kampus khususnya) yang memang benar-benar menjunjung tinggi idealisme, betapa sangat disayangkan tindakan-tindakan seperti itu. Bukan pihak-pihak yang memanfaatkan para demonstran, namun mahasiswa-mahasiswa yang mau dan sangat senang hati menjual harga diri idealisme mereka demi sejengkal perut. Beberapa dari mereka mungkin memiliki pikiran ‘cetek’ bahwa hanya orang bodoh yang menolak rezeki yang menghampiri. Dan siapa juga yang tahan berdiri dengan peluh keringat membasahi tubuh ditengah teriknya matahari hingga sang mentari merunduk dengan perut kosong. Berkoar-koar meng-orasikan apapun yang menjadi tuntutan, tanpa ada air sejuk yang mengguyur tenggorokan. Begitu lah kira-kira logikanya.

Jika pikiran tersebut hanya ada pada personal masing-masing mahasiswa yang mangaku aktivis, mungkin masih bisa dimaklumi. Namun apa jadinya kalau aksi tersebut justru berasal dari satu lembaga atau organisasi. Para ‘suplier’ membayar lembaga tersebut untuk melakukan aksi menentang suatu pihak. Ck..ck..ck.. yang ada dalam pikiran saya adalah, “Dimana prinsip-prinsip idealis aktivis sejati serta motto yang menjunjung kata ‘independen’ setinggi langit itu??”. Kalau letak masalahnya ada pada financial, Hellow…jangan pernah mengharapkan segepok uang dari sebuah organisasi, apalagi hanya organisasi intra kampus, justru kita lah yang sebenarnya harus merogo kocek dalam-dalam demi tetap tegaknya lembaga/organisasi tersebut. Seperti pepatah, masih banyak jalan menuju Roma. Masih banyak cara lain untuk mendapatkan dana atau apapun itu, daripada menempuh jalur yang sama sekali bertentangan dengan nilai-nilai perjuangan. Mungkin hanya segelintir aktivis kampus yang masih memegang teguh prinsip tersebut. Sementara sisanya, hanya mengandalkan pepatah lain yang bunyinya, tak ada akar maka rotan pun jadi.

Kalau diibaratkan, pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dan menjadi ‘penyokong’ financial yang entah demi kepentingan apa, seperti sedang bermain panggung boneka. Dimana ia memegang kendali dari seutas tali yang mampu menggerakkan boneka-boneka ‘demonstran’ sesuka hati nya. Dan baru akan berhenti jika tali itu putus.

Aksi-aksi yang banyak dilakukan para mahasiswa saat ini seperti mati rasa! Artinya, beberapa aksi tidak pernah dituntaskan hingga ke akar-akarnya. Saya misalkan, seorang mahasiswa sebut saja Ucok. Ia berasal dari daerah yang menimba ilmu perguruan tinggi di Kota. Dengan biaya ongkos, makan sehari-hari serta segala ‘tetek-bengek’ akademis yang pas-pasan. Mending juga jika ia cukup pintar dan rajin kuliah. Melihat teman-temannya yang masuk ke sebuah organisasi yang ia rasa cukup untuk membuatnya tampak garang, maka ia pun turut serta mengikuti jejak teman-temannya. Benar-benar tidak punya tujuan khusus. Sekedar ikut-ikutan.

Suatu hari, organisasi tempat ia bernaung mangadakan aksi penolakan kenaikan BBM (contohnya). Dengan semangat yang luar biasa ia ikut ber-orasi hingga urat nadi nyaris putus. Ikut melakukan long march ke jalan manapun, dan ikut berdesak-desakan hingga jika perlu ikut saling timpuk dengan aparat. Yang ada dalam pikirannya tentang kenaikan BBM adalah hanya ikut meng‘iya’kan apa yang menjadi pendapat dan argument rekan-rekannya. Atau istilahnya ‘copy paste’ kemudian ia ‘forward’ ke semua mahasiswa yang ia kenal. Hingga banyak mahasiswa berpikir bahwa Ucok adalah aktivis kampus yang cukup kritis dalam mengeluarkan pendapat. (Aplause buat si Ucok!).

Ketika matahari mulai meredup, dan aksi usai dilaksanakan. Ucok kembali ke kostannya dan langsung tertidur pulas. Esok harinya, ia menceritakan kronologis aksi kepada teman-temannya dengan sedikit berbangga hati, bahwa ia rela bolos kuliah demi melakukan aksi, menyuarakan hati rakyat banyak. Belum lagi jika seadainya dalam aksi itu terjadi bentrok dengan aparat (yang juga manusia, memiliki kadar kesabaran yang sama dengan orang pada umumnya), yang menyebabkan dahi si Ucok bersimbah darah dan harus segera dilarikan ke Rumah sakit dengan menelan biaya yang tidak sedikit. Bukankah semakin menambah beban orang tua bukan? Sungguh perbuatan yang luar biasa. Setelah itu ia kembali ke kegiatan sehari-harinya. Kuliah (yang kadang masuk-kadang tidak), nongkrong dengan teman-teman, cekakakan dengan mulut yang entah berapa ukuran lebarnya, mencaci maki habis kecacatan negara, dst, dst.

Ia tidak pernah berpikir ke depan bagaimana kelanjutan aksi tersebut. Dan sama sekali tidak pernah berpikir untuk memberikan solusi kepada pemerintah bagaimana caranya agar BBM tidak perlu dinaikkan. Serta solusi-solusi masalah lain yang sebenarnya bisa ia dapatkan dari berbagai pengamatan dan riset. Mungkin kalau memberi solusi dirasa cukup berat dan bukan bidangnya (walaupun yang diharapkan dari setiap permasalahan adalah solusi), ia seharusnya bisa memberikan banyak hal sebagai tindak lanjut dari aksi tersebut dengan berbagai usaha, dan tidak berhenti seketika itu juga. Banyak cara untuk melakukan hal itu. (Jika ia benar-benar memikirkannya).

Percaya atau tidak, ketika mahasiswa melakukan aksi protes, mereka yang berkuasa hanya menggoyang kaki sambil mengepulkan asap-asap rokok dengan santainya di ruangan mereka. Saya yakin mereka berpikir bahwa, aksi tersebut tidak akan berpengaruh apa-apa. Paling-paling hanya akan mengganti pintu pagar gerbang yang rusak karena di dobrak massa. Setelah lobi beberapa kalimat dan massa sudah tenang, maka mereka juga akan kembali ke rumah mereka masing-masing tanpa takut akan adanya ancaman susulan dari aksi tersebut.

Seandainya, para pahlawan baik itu pahlawan revolusi, pahlawan reformasi, pahlawan HAM melihat kita yang seperti ini (saya bingung untuk menyebutkan seperti apa), mereka mungkin akan menangis dalam kubur. Betapa tidak, jika hanya segelintir orang-orang saja yang memiliki jiwa pahlawan yang mereka turunkan. Dan hanya segelintir orang-orang saja yang perduli akan nasib bangsa ini. Selebihnya, persis seperti lirik yang ada dalam lagu Slank, tong kosong nyaring bunyinya, otaknya tong kosong banyak bicara, oceh sana-sini tak ada arti…

Sebagai mahasiswa yang setidaknya sudah memiliki intelektual pikiran lebih dari masyarakat awam, kita tentu menyadari bahwa seharusnya kita juga ikut memikirkan bagaimana caranya agar Negara ini bisa keluar dari ‘kegelapan’ dan bersama-sama mencari secercah sinar kesejahteraan untuk masa depan yang lebih baik, dengan cara-cara yang lebih konkrit sifatnya. Memanfaatkan ilmu yang kita dapat untuk mewujudkannya. Memotivasi diri dari banyak tokoh. Dan merealisasikannya sejak dini, membenahi dari diri kita sendiri. Toh, mahasiswa adalah generasi yang kelak akan mengganti mereka. Saya tidak mengutuk unjuk rasa yang banyak dilakukan mahasiswa, saya hanya menyayangkan jika unjuk rasa tersebut hanya sebatas unjuk rasa. Saya juga berharap semoga rekan-rekan aktivis tidak pernah mati rasa. Dan semoga saja tidak ada lagi Ucok-Ucok berikutnya.



September 08

Orang-orang Itu???

Usia ku kini 21 tahun, tepat tanggal 23 Juli lalu. Usia yang seharusnya aku sudah bisa berpikir dan memutuskan apapun yang aku inginkan di hidupku. Semakin lama aku hidup di dunia ini, aku semakin bisa melihat apapun yang ingin ku lihat. Bahkan yang seharusnya tidak ingin aku lihat. Aku juga semakin mengerti mengapa manusia diciptakan berbeda-beda. Dan karena terlalu banyak perbedaan, maka semuanya menjadi semakin samar untuk ku kenali. Atau hanya aku saja yang terasa asing jika berdiri dengan mereka yang beda denganku.

Pada dasarnya, aku sama sekali tidak pernah keberatan dengan triliunan perbedaan yang ada di bumi ini, hanya saja, kadang aku tidak paham mengapa mereka tidak berpikir seperti ku. Mengapa mereka tidak mengikuti ku. Gimana mau ikut, jika aku tidak pernah sejalan dengan mereka. Aku juga heran, apa sih yang ada dipikiran mereka?? Atau aku lah yang harus mengikuti mereka agar aku bisa diterima, hingga akhirnya aku masuk dalam sebuah lubang kemunafikan yang sama seperti mereka. Ups, tentu tidak!

Aku tahu, mereka pasti berpikir kalau aku juga termasuk orang-orang munafik sama seperti mereka. Tapi ada satu hal yang perlu mereka ingat, bahwa orang-orang munafik yang sebenarnya adalah mereka yang mengelak dari kenyataan, mereka yang merasa paling benar, mereka yang selalu berpikir negative, mereka yang selalu memikirkan kesalahan orang lain tanpa menyadari kesalahan mereka sesungguhnya. Dan yang lebih parah lagi adalah mereka yang sudah jelas-jelas salah namun berusaha menutupi kesalahannya dan melemparkan kesalahan itu pada orang lain, yang kemudian mereka akan menghilangkan diri perlahan-lahan seperti seekor kucing yang mengendap-endap mencuri ikan dan ngeloyor begitu saja setelah puas mendapatkan apa yang ia inginkan.

Agustus 08

Selasa, 13 Mei 2008

Lelaki-Lelaki Ku

Sebelumnya ingin aku pertegas dulu. Berbicara mengenai ‘Lelaki-Lelaki Ku’ , bukan lah tentang bagaimana cinta yang aku dapatkan dari mereka. Dan aku sama sekali tidak berbicara tentang cinta, bahkan sebenarnya tidak ingin. Karena menurutku cinta itu tidak ada artinya. Maksudku, tidak ada defenisinya. Pada kenyataannya, sebuah kata itu belum pernah ada yang dapat mendefenisikan dengan sangat jelas dan sesuai kenyataan. Saat ini cinta hanya dimiliki oleh orang-orang naïf. Yang mendewa-dewa kan cinta. Yang menomorsatukan cinta di atas segalanya, tanpa mereka paham betul apa maknanya. Cinta orang-orang naïf itu kelak hanya akan membuat mereka merasakan sakit teramat sangat. Cinta orang-orang naïf itu hanya sebuah bayang semu yang menuntun dan membawa mereka pada perintah-perintah gila. Tidak abadi. Namun cinta yang kekal dan sejati hanya dimiliki oleh Tuhan kepada segala ciptaan-Nya, oleh istri saleha kepada suaminya, oleh seorang Ibu dan seorang Ayah kepada anaknya. Serta dimiliki oleh seorang hamba saleh kepada Penciptanya.

Sejak kali pertama aku menghembuskan nafas ke dunia yang sebenarnya teramat indah ini jika saja belum terkontaminasi dengan berbagai macam ‘virus’, ada begitu banyak sekali lelaki yang aku jumpai. Namun lelaki yang pertama kali aku lihat garis wajahnya dan sangat aku kenal tentu saja ayahku ‘tercinta’. Setelah Ayahku, ada ‘abang’, ada kakek, paman, om, dan adikku yang beda 4 tahun di bawahku. Aku terlahir sebagai anak pertama. Kalau orang bilang, anak pertama itu ‘ilmu’ kedua orang tuanya masih sedikit, jadi hasilnya tidak terlalu bagus. Tapi ‘kataku’, anak pertama justru buah cinta pertama kedua orang tuaku. Awal sebuah kebahagiaan yang tidak terkira nikmatnya memiliki keluarga. Sebab keluarga adalah terdiri dari Ayah, Ibu dan Anak. Kalau tidak ada yang namanya anak, maka hanya dikatakan sebagai sepasang suami istri. Jadi anak pertama adalah penentu terbentuknya sebuah keluarga.

Berhubung aku adalah anak pertama, sejak kecil aku memimpikan seorang kakak laki-laki. Karena aku pikir akan sangat indah dan lengkap hidupku jika aku memilikinya. Bukan berarti aku tidak mensyukuri takdirku sebagai anak pertama, itu hanya sebuah impian yang hanya aku, hatiku dan Tuhanku yang tahu. Dia bisa melindungi dan menjagaku, dan menjadi tempatku mencurahkan segala isi hati dan kekesalan ku tentang kaum sesamanya. Aku bisa cerita apapun tentang laki-laki yang mendekatiku, dan dia bisa cerita tentang perempuan yang sedang ia dekati. Impian itu terkadang membuat aku jadi nyaris gila. Sebab aku selalu membayangkan, bahwa dia benar-benar ada di dekatku. Dan menghapus air mataku ketika aku tidak lagi mempunyai teman yang dapat aku ajak bicara dan mengerti aku. Aku benar-benar menyempurnakan wujudnya dalam benakku.

Gila??? Tentu tidak. Aku sadar. Sepenuhnya aku sadar dia tidak nyata.

Tapi entah kenapa, dia selalu muncul tepat setiap kali aku butuh teman bicara. Aku tidak perduli jika mungkin orang-orang yang melihat akan mengira aku gila karena bicara sendiri. Aku menggambarkan nya begitu sempurna. Maaf kan aku Ya Allah, itu bukan karena aku tidak mensyukuri apa yang telah Engkau garis kan di tanganku. Hanya saja, aku tidak mampu membendung setiap tetes air mata kerinduan ku pada sosok kakak Lelaki. Terus terang aku iri melihat teman-teman ku yang punya kakak laki-laki. Pengen dipinjem sehari aja rasanya.

Aku adalah salah satu gadis yang sangat haus akan kasih sayang dari seorang laki-laki. Aku tidak pernah naïf akan hal ini. Karena naïf hanya akan membuat ku terpuruk pada rasa sepi dan menjadikan aku manusia paling bodoh telah berbalik punggung ketika satu kehangatan menghampiriku. Percaya atau tidak, aku sudah puluhan kali menjalin hubungan dengan kaum ‘adam’. Dari referensi yang sekian banyak itu, secara tidak langsung aku banyak tahu tentang watak pria yang lebih banyak menggunakan logikanya ketimbang perasaan. Maka tidak heran jika banyak perempuan yang lebih meringis perih ketika suatu hubungan itu hancur. Sering nya aku berganti pasangan_mungkin bagi teman-teman yang sudah mengenal ku bukanlah sesuatu yang aneh, tapi bagi ku tetap saja masih saja ada yang kurang. Manusia memang tidak pernah puas. Terus terang, ketika usia ku masih belasan (orang bilang masa puber) aku cukup sering mempermainkan hati lelaki yang menyayangiku (entah mereka itu serius atau tidak), aku juga tidak mengerti kenapa aku sering sekali melakukan itu. Meskipun aku juga cukup sering terkena imbas alias karma dari perbuatan ku. Mungkin karena usia ku yang masih cukup belia. Jiwa ku masih ingin ‘kesana-kemari’. Dan mungkin pengaruh teman-teman ku yang terlalu banyak dan entah dari kalangan mana saja.

Namun begitu, aku pernah menjalin hubungan yang cukup serius selama 4 tahun dengan seseorang yang terpisah jarak cukup jauh dengan ku. Ya, cukup serius karena ia pernah mengajakku untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang satu level lebih tinggi (menikah) saat usia pacaran kami menginjak tahun ke-4, bukan melamar secara resmi sih, Tapi dengan lembut aku menolaknya. Gila aja!! Secara aku masih ingin menyelesaikan kuliah dan tentu saja bekerja, merasakan bagaimana sulitnya mencari uang sendiri. Ternyata justru dia memiliki persepsi ‘kolot’ tentang wanita. Dari segala prinsip dan persepsi ditambah ego dan logikanya, yang aku tangkap adalah, bahwa ia tidak pernah suka jika seorang perempuan berada setingkat lebih tinggi dari nya. Walaupun hanya satu tingkat. Ia juga tidak pernah sudi jika kelak istrinya juga ikut bekerja.

Hellow… ini bukan zaman orde lama yang semua hal bisa dengan mudah didapat dengan biaya yang sangat murah. Setiap tahunnya, nilai mata uang semakin tidak ada artinya. Segala kebutuhan semakin meningkat seiring berkembangnya zaman. Hhh… aku tidak menyangka masih ada orang yang berpikir seperti itu. Perbedaan prinsip itulah yang menjadi jurang yang cukup dalam. Satu sama lain tidak ada yang ingin masuk ke jurang yang sama. Sifat ku yang keras di tambah ego dia yang melebihi besar badannya, membuat kami mengambil keputusan untuk berbalik arah, tanpa ada niat untuk membuat sebuah jembatan agar kami bisa melalui jurang itu.

Aku akui memang ia adalah sosok lelaki idaman. Pekerja keras, sedikit perfectionist, pintar mengatur keuangan, pelindung, cukup royal, dan… ia cukup tampan. Nilai ‘plus’ itulah yang membuat kedua orang tua ku entah kenapa sangat menyukainya. Sampai-sampai dari sekian banyak ‘pacar’ ku yang pernah bertandang ke rumah, hanya dia yang memiliki status ‘diakui’. Maklum saja, salah satu anggota keluarga juga yang mengenalkan aku padanya. Huh!!

Tapi itu sudah lama berlalu. Sekarang ia sudah menikah dengan perempuan yang tentu saja bisa menerima semua prinsip nya itu. Ya, walaupun dia tidak mengundang ku dengan alasan yang tidak aku mengerti. Aku ikhlas, aku sangat ikhlas. Bisa dibayangkan, kalau aku menerima ‘lamaran’ nya saat itu, mungkin aku tidak akan pernah sampai di Jakarta-Bandung-Yogyakarta dan Palembang. Aku bersyukur, ternyata aku tidak salah mengambil keputusan. Meski harus berkorban perasaan, dan butuh waktu berminggu-minggu untuk kembali pulih. Ya, Allah memang tahu apa yang terbaik untuk ku. Aku tahu itu.

Setelah kami berpisah, aku sadar bahwa ia sebenarnya tidak terlalu special di hidupku. Ia hanya pemegang ‘rekor’, karena telah menggenggam hati ku selama bertahun-tahun. Dan ketika semuanya berakhir, ternyata tidak ada perubahan yang berarti. Dalam artian, aku tidak merasa terlalu sakit karena rasa kehilangan yang teramat sangat. Aneh bukan?

Aku hanya membiarkan ia berlalu begitu saja tanpa beban. Kemudian aku kembali meneruskan hidup ku. Ya, seperti itu lah.

Pada prinsipnya, aku tidak pernah bermain-main dengan yang namanya hati. Walaupun aku belum ingin terlalu serius menanggapi suatu hubungan. Kalau dulu, aku tidak pernah berpikir seperti ini. Tapi usia ku kini semakin bertambah. Aku harus memilih diantara dua pilihan. Apakah aku akan tetap menjadi anak-anak atau melangkah ke tahap dewasa. Yang tentu saja mau tidak mau aku harus memilih pilihan yang kedua itu.

Aku juga pernah berhadapan dengan lelaki posesif yang menempatkan aku di urutan pertama di atas segala-galanya dalam hidupnya. Sampai-sampai aku heran, bagaimana posisi Tuhan, keluarga dan sahabat-sahabatnya? Yang justru seharusnya berada di urutan teratas sebelum aku. Aku pernah bertanya padanya, mana yang lebih dulu di prioritaskan, teman atau pacar?

Dan jawaban dia adalah pacar. Kemudian dia mengembalikan pertanyaan itu kepada ku. Dengan sangat yakin aku jawab, Ya teman donk… sontak dia terdiam. Dan kembali bertanya, Alasannya??

Lalu aku jawab sekenanya saja. Kalau ‘putus’ sama pacar masih bisa jadi temen, nah kalau ‘putus’ sama temen, mau jadi apa? Musuh? Repot kan urusannya. Mau nambah temen kok jadi banyak musuh, gimana sih…

Aku memang suka kalau ada seseorang yang bisa mengatur ku untuk bisa jadi lebih terarah. Tapi tolong, jangan rantai aku seperti ‘anjing’ peliharaan. Jangan rantai kebebasan ku untuk berteman dan dekat dengan siapapun, melakukan apapun yang aku mau, kemana pun aku pergi. Selama itu hal yang masih positif sifatnya. Jangan gila donk… kamu itu masih ‘pacar’, bukan suami yang harus aku makmum kan. Ditambah intensitas pertemuan yang cukup tinggi, membuat intensitas pertengkaran juga semakin tinggi. Kalau biasanya orang bertengkar ada piring terbang, maka pertengkaran kami diselingi dengan HP terbang. Hanya karena cemburu dengan sms bahkan miscall sekalipun, dengan alasan yang aneh menurut ku. Aku pikir, kalau tidak ada kepercayaan antara satu sama lain, percuma juga untuk diteruskan.

Nggak…nggak banget deh…

Ku punya pacar yang seperti kamu…

Ini cemburu…

Itu cemburu…

Mending putus aja…

(The Flow-Enggak Banget Deh)

Lagi-lagi karena sifat ku yang keras dan mudah memberontak, aku memutuskan hubungan yang hanya berlangsung setengah tahun itu.

Nilai ‘plus’ dari cowok seperti ini adalah, selain setianya yang tidak diragukan lagi, dia bisa ada kapan pun dan dimana pun aku butuh. Dan itu juga salah satu hal yang membuat aku sedikit merasa kehilangan, ketika dia kini lebih memprioritaskan pekerjaannya ketimbang aku, pasca hubungan kami berakhir.

Aku memang bukan cewek yang sempurna. Tidak cantik (tapi cukup manis), tidak tinggi semampai, apalagi putih seperti orang bule (item manis begitu lah kira-kira). Tapi aku cukup pintar mengambil perhatian cowok-cowok (bukan berarti aku kecentilan), tapi aku seperti memiliki cukup daya tarik (itu sih katanya). Daya tarik itu bisa dari mana saja, salah satunya mungkin dari cara ku berkomunikasi dengan mereka. Zodiac ku adalah Leo. Kalau ‘Primbon Jawa’ bilang, perempuan yang berbintang Leo, memiliki ‘kecerdasan’ tertentu dalam hal mengambil hati lawan jenisnya. Hmm… entah benar atau tidak. Who knows??

Terserah deh mau dibilang narsis atau apapun. Tapi itu kenyataannya!

Saat ini, hati ku terisi oleh seseorang yang lagi-lagi terpisah jauh dariku. Aku bertemu dengannya beberapa minggu yang lalu di Palembang, ketika kami mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional. Cinta lokasi? Hmm… tidak juga. Karena perasaan ini tumbuh justru setelah kami kembali ke daerah masing-masing. Awalnya aku tidak yakin apakah aku bisa membina suatu hubungan jarak jauh, dengan daerah yang berbeda, dan etnis yang berbeda pula. Tapi ini lah tantanganku. Aku harus bisa menaklukan jarak dan waktu. Meskipun rasa hopeless itu terkadang muncul. Cukup aneh juga sebenarnya. Kami satu sama lain belum mengenal latar belakang masing-masing. Hanya bermodalkan kepercayaan, aku memutuskan untuk menerima cintanya. Semuanya dimulai dari nol. Toh, kami sudah sama-sama dewasa. Sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Sudah tahu bagaimana menghargai perasaan orang lain, dan tentu saja sudah tahu bagaimana menanggungjawabi suatu hubungan. Jujur saja, kalau hanya untuk main-main, aku lelah. Bahkan tidak sempat. Mengingat kegiatan organisasi ku yang seebrek-abrek. Lagi pula banyak nilai positif yang bisa aku ambil dari hubungan ini. Selain meminimalisir pertengkaran, juga meminimalisir dosa pastinya.

Itu adalah segelintir kisah lelaki-lelaki dalam hidup ku. Selebihnya, aku mohon maaf bila nama kalian tidak aku tuangkan dalam blog ini. Karena bagi ku, tidak ada yang istimewa dari kalian. Tapi bagaimanapun aku tetap berterima kasih karena kalian telah membuat kisah hidup ku menjadi penuh warna, dengan berbagai suka, duka, jengkel, marah ataupun luka yang pernah tergores tanpa bisa kuhilangkan bekas itu. Aku juga mohon ampun jika ada hati-hati yang terluka karena aku, baik dulu maupun hari ini. Percayalah, tidak pernah ada unsur kesengajaan, hanya keterpaksaan saja. Selanjutnya, kisah lelaki-lelaki ku akan ku sambung lebih banyak, jika aku menemukan cerita berkesan lain dengan siapapun itu.

Kataku Agar Kau Tahu Siapa Aku


Banyak orang bilang,

Tak tahu maka tak kenal…

Tak kenal maka tak sayang…

Tapi kataku,

Tak kenal maka tak tahu…

Tak sayang karna tak tahu…

Jadi perkenankan lah aku untuk memperkenalkan diri, agar mereka tahu siapa aku. Dan apa yang akan aku katakan tentang apapun yang aku lihat, aku rasa, dan aku dengar. Baik itu mengenai diriku sendiri atau mereka yang berada di sekelilingku.

Aku adalah seorang gadis remaja dewasa. Kenapa aku bilang seperti itu, karena aku hanyalah seorang remaja pada dasarnya, yang belum sepenuhnya dewasa. Usia ku di tahun “Tikus Tanah”_yang entah dari mana asalnya mereka bisa mendapat sebutan itu, kini 20 thn. Usia dimana sebuah masa peralihan dari remaja menuju dewasa sedang terbentang di hadapanku. Tinggal beberapa langkah saja, maka aku akan berada pada level gadis dewasa yang kemudian menuju wanita dewasa. Meskipun aku tidak tahu persis apa yang disebut dengan dewasa itu sendiri.

Dimana aku lahir, sepertinya tidak penting. Karena proses kelahiranku sama dengan proses kelahiran orang-orang pada umumnya. Di atas sebuah kasur putih kusam, dengan bangsal yang dihuni puluhan pasien. Maklum, rumah sakit tempat aku lahir dibangun pada masa penjajahan. Bernuansa Belanda dan begitu tua.

Dan kapan aku lahir aku rasa itu juga tidak terlalu penting bagi mereka. Karena itu hanya akan menambah beban pikiran mereka saja. Ya, beban ketika harus selalu ingat dan harus mengucapkan ‘Selamat’, bahkan beban untuk memberikan sebuah hadiah_itu pun kalau memang ada yang berniat memberi hadiah. Eh, bukan berarti kalau aku mengingat hari Ultah mereka adalah sebuah beban berat, hanya beban saja. Apalagi untuk membeli kado, kalau dompet lagi penuh dan bergepok-gepok sih, tidak masalah bagiku. Tapi aku kan hanya mahasiswi yang masih menengadahkan tangan ke kedua orang tuaku yang ‘bermandi peluh’ mencari ‘sesuap nasi’. Semoga saja mereka mengerti. Karna jika tidak, sungguh terlalu…

Lagipula bagiku, kata-kata ‘Ulang Tahun’ kini terasa tidak terlalu istimewa. Hanya angka yang berubah, dan usia hidupku yang pasti berkurang. Sementara, setiap perubahan angka itu, serasa ada sebuah bongkahan batu ‘Tanggung Jawab’ yang semakin lama semakin berat dan menimpaku tanpa ampun.

Untuk gadis seusiaku, status yang sesuai adalah Pelajar. Saat ini aku adalah seorang mahasiswi, di salah satu Universitas Muhammadiyah satu-satunya di Sumatera Utara yang sebenarnya tidak terlalu dikenal. Banyak masyarakat hanya sekedar tahu dan pernah dengar saja. Bahkan rata-rata masyarakat awam sering salah ‘kaprah’, dengan Universitas Islam lainnya. Dan terkadang kalau di sebutkan nama Universitas nya yang ‘disingkat’ itu, sering juga orang salah dengar, dengan salah satu Universitas Negeri terkemuka di Sumatera Utara yang tentu saja sangat berbeda jauh sekali kuantitasnya. Kalau di Kampus ku hanya ada beberapa ribu mahasiswa, namun di Kampus itu ada ratusan ribu, atau malah jutaan. Entahlah, aku tidak pernah menghitungnya. (Enggak kerjaan aku kalee).

Keluargaku

Syukur Alhamdulillah, aku hidup dengan perekonomian keluarga yang berkecukupan. Tidak kurang, dan tidak lebih. Cukup makan, cukup belanja, cukup untuk biaya pendidikan aku dan kedua adikku, cukup zakat, dan cukup untuk bensin si ‘kuda besi’ yang bisa mengantarkan seluruh anggota keluarga kemanapun kami mau. Tapi belum cukup untuk naik Haji. Selain materi yang belum cukup, kendala lainnya adalah belum cukup mental bagi kedua orang tuaku. Aku juga tidak tahu apa lagi yang mereka tunggu. Mungkin menunggu hingga usia menginjak 60-an, ketika ingatan mulai sedikit demi sedikit pudar, dengan warna rambut yang sudah berubah, seperti Haji-haji kebanyakan. Tapi sebenarnya, aku sebagai anak tertua_dan yang paling dibebankan, belum siap untuk mempunyai orang tua yang berembel-embel Haji. Karena kalau orang tuaku mempunyai embel itu, malah tanggung jawabku sebagai anak semakin besar, yang harus senantiasa menjaga tingkah lakunya dengan baik, islami, dan bertutur kata ‘indah’. Hmm, jujur saja… kok malah aku yang belum siap. Namun jika Allah SWT sudah berkehendak dan memberi izin-Nya, maka angin badai sekalipun tidak akan menggoyahkan langkah Orang tua ku berkunjung ke ‘Kediaman’-Nya. Dan mau tak mau, aku harus ‘beradaptasi’ dong

Oh ya, ada sebuah impian yang sangat lucu dan patut untuk aku tertawakan yang pernah diucapkan melalui candaan ayahku dahulu ketika aku masih ‘dimanja-manja’.

Hampir setiap malam_jika ayah tidak ada kesibukan beradu pendapat mengenai kelebihan dan kecacatan negeri tercinta ini dengan sesama kepala keluarga lain, dan jika ayah tidak membawa setumpuk berkas-berkas yang sama sekali tidak dimengerti oleh satu rumah_kami duduk di beranda (yang lebih dikenal dengan teras) rumah, melihat bulan yang terkadang senyum, terkadang hilang dan menunjuk-menunjuk bintang yang membentuk rasi indah. Ayahku mengatakan seandainya saja ada sebuah pesawat yang melintas, dan disana tengah terjadi pertengkaran hebat oleh dua orang yang entah siapa itu, memperebutkan sebuah koper berisi bertumpuk-tumpuk uang, kemudian terlempar keluar pesawat dan jatuh tepat di depan kami. Maka apa yang akan kami lakukan? Pertama sekali adalah tidak melaporkannya kepada RT setempat apalagi pada Polisi. Ha… ha… dan selanjutnya???? Mungkin kami harus mengadakan rapat intern keluarga, mau diapakan uang ini??

Aku adalah Aku

Itu tadi sedikit hal manis tentang aku. Selanjutnya akan ada banyak sekali hal-hal manis lain yang akan aku katakan.

Dan aku hanya menerima saran dan pujian mengenai tulisanku. Bukan kritikan pedas. Apalagi pertanyaan yang bertubi-tubi. Sebab sebuah kritikan pedas adalah bentuk sifat iri. Dan terlalu banyak bertanya adalah cermin orang bodoh.

Kalau saja mereka sadar, bahwa saran dan pujian adalah sikap yang diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan hanya Allah SWT yang berhak mengkritik ku. Sebab hanya Allah SWT yang memiliki kesempurnaan. Bukan aku, bukan kamu, dan bukan mereka.