Selasa, 06 Oktober 2009

Lelaki Terbaik Itu Bukan Untukku

Seumur hidupku, aku telah bertemu dengan banyak sekali lelaki. Dan sebagian dari lelaki tersebut sempat mengisi ruang di hidupku. Masing-masing menorehkan kisah menarik, ada yang lucu, senang, dan pedih, semuanya seperti campuran menu yang mewarnai lembaran harianku. Semua cerita itu sekaligus meninggalkan banyak pelajaran penting untuk ku.

Satu diantara sekian itu, aku bertemu seseorang yang bagi ku, dia adalah lelaki terbaik yang pernah ku miliki. Dia begitu sempurna di mataku, hingga kadang aku merasa bahwa aku tidak pantas mendampinginya.

Selama satu tahun_empat bulan dia mengisi seluruh hatiku dengan banyak kisah. Dan selama itu pula, aku dan dia berusaha untuk menaklukan jarak dan waktu yang memisahkan kami.

Meski pada akhirnya perjuangan itu harus berhenti sampai disini.

Waktu terus berlalu, dan ketika kita melangkah terus kedepan, kita tidak pernah menghitung sudah berapa banyak langkah yang kita tempuh, hingga akhirnya kita sadar, ternyata kita sudah melangkah terlalu jauh.

Itu lah yang aku rasakan saat ini. Keadaan saat ini dan saat ketika aku pertama kali jatuh cinta dengannya, terasa jauh berbeda.

Aku sadar, aku bukan perempuan sempurna. Terlalu banyak menuntut, mungkin! Tapi itu karena aku cuma perempuan biasa yang butuh perhatian lebih ketika harus selalu jauh darinya. Bukan aku atau dia yang berubah, tapi justru keadaan lah yang sudah banyak berubah, dan mungkin aku yang tidak siap dengan perubahan-perubahan itu. Sampai akhirnya aku mengambil langkah mundur, dan mengalah untuknya.

Aku akan biarkan dia dengan segudang akivitasnya, sementara aku juga hanya akan berteman dengan rutinitas ku juga. Seandainya dia tahu, bahwa dalam hatiku benar-benar tidak ada orang lain selain dia. Bahkan sampai detik ini.

Dia terlalu baik, dan setelah aku pikir-pikir…aku yang salah, aku yang terlalu banyak menuntut waktunya buat aku. Sampai-sampai aku bermain dalam pikiran ku dengan sugesti yang aneh-aneh ketika dia tidak mengangkat telphon ku, tidak membalas sms ku, dan ketika dia tidak mencoba menghubungiku.

Huff…!!!

Dan saat aku mulai uring-uringan karena lost contact beberapa saat, dia cuma bilang…

“Semuanya baik-baik aja, gak ada yang berubah, jadi jangan mikir yang macem-macem,…dll”

Padahal enggak! Aku tidak dalam keadaan baik-baik saja… Aku benar-benar butuh dia. Kata-katanya yang seperti itu justru buat aku sedih, aku merasa dia sama sekali mengesampingkan apa yang aku rasakan.

Hal seperti itu lah yang perlahan-lahan memupuskan keyakinan ku sedikit demi sedikit tentang keseriusan hubungan kami.

Atau mungkin aku yang sudah mulai lelah menunggu. Menunggu saat itu tiba, seperti yang selalu kami impikan. Well, semuanya harus aku terima.

Tapi entah kenapa, rasanya berat sekali. Ribuan air mata sepertinya tidak cukup untuk membuat bayang-bayangnya terhapus dari benakku.

Ya, dia tidak hanya ada di Diary, di Laptop, Handphone, di bingkai kamarku, di Friendster dan Facebook bahkan di blog, tapi dia juga memenuhi seluruh hati dan jiwa ku. Dia benar-benar laki-laki terbaik yang pernah kumiliki.

Meski dia setahun lebih muda usianya dariku, tapi dia bisa membawakan dirinya tidak hanya seperti kekasih, tapi sosok sahabat, kakak, bahkan nyaris seperti ayah.

Kedewasaan nya yang membuat aku jatuh hati.

That’s why I love him so much!

Aku cuma bisa berharap, semoga Tuhan menyatukan kami kembali suatu saat nanti. Kalau pun ternyata dia memang bukan seseorang Kau takdirkan untuk mendampingiku, hmm…setidaknya beri aku sosok yang seperti dia. ^_^

“Siapapun yang kelak akan menggantikan posisi ku di hatimu, aku percaya dia bisa menjadi sosok yang akan selalu membahagiakan mu.”

Terima kasih untuk semua cinta dan waktu yang kau habiskan bersamaku. Terima kasih untuk waktu yang tersita karena terbebani oleh permintaan-permintaan ku yang konyol. Terima kasih untuk semua rasa lelah karena sikap ku yang kekanak-kanakan. Terima kasih untuk mengerti dan mau mendengarkan cerita pahit di hidupku. Terima kasih untuk menjadi apapun yang ku inginkan. Terima kasih juga untuk semua pelajaran yang kau berikan.

Dan terima kasih untuk semua jejak langkahmu yang tlah mendewasakan hatiku.

Kau tetap menjadi lelaki terbaik yang pernah ku miliki. Meski kesempurnaan mu ternyata bukan untukku…

30 Sept 09

Special 4 Him…

“E.P.P”

The Best Man That I Ever Had

Senin, 15 Juni 2009

H A D I A H

Hidup terkadang sulit untuk dimengerti.

Orang bilang, kau tidak perlu mengerti tentang hidup,

Apa dan bagaimana bentuk ia sebenarnya.

Jadi apapun yang hidup berikan.

Nikmati saja.

Kemarin, hari ini, dan juga esok.

Kehidupan dimulai ketika seluruh panca indra terbuka. Ketika semua manusia terjaga bersama sang fajar. Seperti biasanya, semua pedagang pasar tengah bersiap-siap mengangkut semua dagangan untuk dijajakan, para ibu yang juga sedang menyiapkan segala perlengkapan untuk suami dan anak-anak mereka, dan para abdi Negara juga tengah bersiap-siap menjalankan tugas menertibkan keruwetan lalu lintas demi kenyamanan warga.

Jika hampir seluruh anak-anak di Kota ini sedang bersungut-sungut memakai seragam putih merah sambil mengencangkan ikatan sepatu hitam mereka, tetapi hal yang seperti itu bukanlah rutinitas bagi hidup Teguh.

Bocah berusia 11 tahun itu tidak terlihat sibuk dengan seragam putih merahnya, ia justru disibukkan dengan karung-karung bekas yang ia panggul. Seperti biasa, ia harus segera bergegas ke pasar untuk mencari barang-barang bekas yang sekiranya dapat diganti dengan rupiah. Sebab di pasar pagi, usai transaksi jual beli, biasanya akan banyak sekali sampah plastik.

“Sudah mau berangkat kau, Guh?” tanya seorang lelaki tua yang baru saja terjaga.

“Iya, Kek. Mulai hari ini aku harus pergi lebih pagi. Banyak barang yang harus ku cari,” Teguh menyeruput sedikit air putih.

“Jangan lupa kain yang Kakek pesan. Tidak usah yang terlalu lebar, yang kecil saja pun jadilah,” lelaki tua itu perlahan bangkit dari rebahannya, kemudian dipakainya baju berlambang partai yang ia dapatkan ketika kampanye setahun lalu. Ia sama sekali tidak mengenal partai apa yang terpampang di punggungnya, yang ia tahu adalah baju itu bisa melindungi kulit rentanya meski tidak bisa menghangatkannya dari cuaca dingin karena bahannya yang sangat tipis.

Setelah berpamitan, Teguh keluar dari rumahnya yang hanya terdiri dari susunan papan usang. Selama hampir 5 tahun lamanya, ia hidup berdua dengan Kakek. Bapak dan Emak sudah lama meninggal, ketika sebuah pesawat meluluhlantakkan rumah dan seluruh penghuninya yang saat itu juga menewaskan mantan Gubernur Sumatera Utara di pagi hari yang tidak begitu cerah. Saat itu, Teguh tengah bersama sang Kakek berburu kodok hijau yang jaraknya lumayan jauh dari rumah untuk dijual di pasar. Kakek memang terbiasa mencari apa saja yang bisa ditukar dengan lipatan-lipatan rupiah.

Hari ini Medan terasa begitu panas. Ada dua karung bekas yang ia pikul. Yang satu untuk menampung barang-barang plastik, seperti bekas air mineral atau minuman kaleng. Sedangkan yang satu lagi ukuran karungnya tidak terlalu besar. Di dalamnya khusus untuk sampah bekas Mie Instan dari salah satu produk ternama. Menjelang sore hari, ia pun bergegas menuju lapak tempat biasa ia menukarkan hasil pungutannya. Setelah menerima upah, ia pun langsung pergi.

Diintipnya jam yang terpajang dalam sebuah toko kelontong. Sudah pukul 4 sore lebih sedikit. Buru-buru ia mengeluarkan uang seribu rupiah. Dan menukarkannya dengan dua lembar amplop putih bersih dari sebuah toko Foto Copy.

Di bawah rimbunan pohon Akasia lapangan Merdeka, ia duduk seraya membersihkan bungkusan Mie Instan yang ia kumpulkan hari ini. Kemudian ia lipat dengan rapi ke dalam dua lembar amplop. Ia rekatkan dengan lem kanji yang sengaja ia bawa dari rumah. Setelah itu, ia menuliskan sebuah alamat di permukaan amplop yang ia contek dari sobekan kertas kecil dari balik sakunya. Dipandangnya dua amplop tadi sambil tersenyum sumringah.

Dengan penuh semangat, ia melenggang masuk ke dalam sebuah gedung megah berasitektur Belanda yang letaknya hanya 50 meter dari tempat ia duduk tadi. Seorang pria berseragam putih biru mengamati gerak-geriknya sedari tadi.

“Sedang apa kamu disini, Dik??” Tanya pria itu seraya melihat penampilan Teguh yang lusuh. Karena sudah berjam-jam berjemur di bawah terik matahari.

“A..aku mau kirim amplop ini.” Seragam yang dikenakan Pria itu ditambah raut wajah sangar dan tubuh yang tegap, membuatnya gugup. Seumur hidupnya, ia tidak pernah berbicara atau berhadapan dengan orang lain kecuali Bapak, Emak, Kakek dan teman-teman yang berada di sekitar rumahnya.

“Ooh…mari sini Bapak antar ke loket.” Ternyata pria itu tidak seseram yang ia bayangkan.

Loket itu terlalu tinggi, sehingga ia tidak bisa melihat petugas pos yang berada dibaliknya. Lagi-lagi satpam ramah itu membantunya menyerahkan kedua amplop itu kepada petugas. Tidak lama kemudian si pria baik hati itu berbalik ke arahnya.

“Dik, surat ini harus disertakan dengan Perangko.”

“Perangko?? Apa itu??” Tanya Teguh heran. Si satpam berpikir sejenak untuk mencari penjelasan yang mudah dimengerti anak seumuran Teguh.

“Perangko itu kertas kecil bergambar yang biasanya ditempel di sudut kiri surat, gunanya agar surat kamu cepat sampai.”

Teguh mengangguk-angguk tanda mengerti.

“Ya sudah Pak, tempel saja.”

“Kamu mau harga perangko yang berapa?” Si satpam bertanya lembut.

“Memangnya berapa harganya??” Teguh balik bertanya.

Ada yang harganya 2000, ada juga yang 2500. Kamu mau yang mana??”

Teguh terperangah sejenak. Ia tidak menyangka jika ingin mengirim surat harus mengeluarkan uang lagi. Di rogohnya kembali kantung celananya. Hanya tersisa 8 ribu rupiah. Seribu rupiah untuk ongkos pulang, tiga ribu rupiah untuk makan, dan sisanya harus ia tabung untuk membeli obat. Ia teringat batuk kakek yang tidak kunjung sembuh, karena kakek sering sekali keluar pada tengah malam untuk mencari kodok, belut bahkan kalong.

Ahh..bagaimana ini?

Terpaksa kali ini ia harus mengurangi tabungannya untuk selembar perangko. Berarti ia hanya bisa mengirim satu amplop saja.

“Ini Pak, aku pakai perangko yang 2000 saja.” Diserahkannya selembar uang kumal seribu rupiah dan dua keping pecahan 500 rupiah. Tak apalah, pikirnya. Yang penting satu surat sudah bisa terkirim.

Usai dari kantor pos, ia pun segera menuju pasar yang menjual banyak kain. Bukan untuk membeli satu meter kain. Tetapi justru mencari siapa tahu ada sisa-sisa kain yang tercecer di depan toko. Setelah cukup lama berkeliling, ia temukan juga kain dua warna yang diinginkan kakek, meski ukurannya berbeda.

Satu bulan berlalu sudah. Setiap kali Teguh berada di Pasar atau dimana saja, ia selalu menyempatkan diri untuk melirik televisi yang ada di dalam Toko. Siapa tahu saja, namanya akan muncul sebagai pemenang kuis yang ia kirim sebulan lalu. Tetapi di akhir bulan, harapannya semakin pupus. Ia tidak bisa selalu mengikuti kuis yang diumumkan di televisi. Ia juga tidak bisa membeli koran setiap hari. Teguh pun pasrah.

Di satu sore yang cerah, dua orang pria mengenakan kemeja putih dan celana hitam berbahan menyambangi kediaman Teguh dan kakek. Kakek pun mempersilahkan keduanya duduk di atas dipan teras rumah. Setelah memperkenalkan diri, barulah kakek tahu bahwa mereka berdua adalah kurir dari perusahaan Mie Instan.

Kakek menyuruh Teguh untuk menghidangkan dua cangkir air putih, maklum saja hanya itu yang mereka punya. Dua lelaki itu pasti sudah lelah berkeliling mencari alamat rumah Teguh yang letaknya jauh dari Kota. Tanpa panjang lebar lagi, kedua pria tadi menjelaskan maksud kedatangannya.

Dengan tutur kata halus, mereka memberitahukan bahwa Teguh berhasil memenangkan kuis yang diadakan perusahaan Mie Instan tersebut. Meski bukan hadiah utama, tetapi Teguh berhasil memenangkan sebuah sepeda motor jetmatic keluaran terbaru. Spontan Teguh berteriak kegirangan. Meski dalam hati kecilnya, ia menyayangkan mengapa tidak uang saja sebagai hadiahnya. Ah, tidak apa. Kelak sepeda motor itu bisa dijual dan uangnya bisa digunakan untuk keperluan yang lain.

Semula kakek tidak begitu saja percaya. Tetapi kedua pria itu membawa bukti yakni surat keterangan dari Perusahaan, serta sebuah surat kabar yang memuat nama dan alamat Teguh. Namun, kakek tidak melihat mereka membawa sepeda motor tersebut.

“Lalu, mana hadiahnya? Saya lihat kalian tidak membawa apa-apa.”

“Oh, begini Pak. Sekarang kami hanya diberi perintah oleh perusahaan untuk mengecek alamat pemenang, dan menjelaskan beberapa persyaratan untuk mengambil hadiahnya,” Jelas si pria berkulit sawo matang.

Kakek tampak mengeryitkan dahinya. Rekan di sebelahnya kemudian mengeluarkan selembar kertas berwarna kuning. Yang di dalamnya banyak sekali data-data yang harus diisi oleh pemenang.

“Nah, disini ada data yang harus diisi, dan Teguh juga harus menyiapkan surat keterangan dari kelurahan hingga kecamatan, bahwasannya Teguh memang merupakan penduduk sesuai alamat ini. Beserta Foto Copy KTP atau SIM.” Tambah pria itu panjang lebar. Kakek pun semakin tidak mengerti. Bagimana mungkin Teguh memiliki KTP dan SIM, sementara ia hanyalah seorang bocah yang masih berumur 11 tahun. Kedua pria itu sepertinya bisa menangkap apa yang dipikirkan kakek.

“Kalau Teguh tidak punya KTP, minimal Teguh harus memiliki surat keterangan resmi dari RT atau Kepala Desa setempat. Nanti akan kami bantu mengurusnya.”

Kakek masih diam seribu bahasa. Sedangkan Teguh, seperti bayangan kakek, ia pun larut dalam lamunan tanpa arah. Hanya bisa memperhatikan ketiga pria di depannya saling berbicara.

Pada poin terakhir yang ada dalam kertas kuning tersebut tertulis, pajak hadiah ditanggung oleh pemenang. Lagi-lagi tanpa kakek bertanya, kedua pria tadi memberi penjelasan.

“Pak, hadiah sepeda motor ini bernilai 12 juta rupiah, jadi bapak hanya membayar pajaknya saja sebesar 10% dari total hadiah, yaitu Rp.1.200.000,- saja. Ditambah jasa kurir sebesar Rp.150.000,-. Jadi setelah bapak melengkapi surat-surat tadi dan membayar pajak hadiah barulah sepeda motornya bisa langsung kami kirim. Namun jika bapak tidak mengambilnya dalam kurun waktu satu bulan, maka hadiah itu akan dianggap hangus.”

Kakek meletakkan kertas kuning yang tadi di genggamnya.

“Kau tentu bisa lihat keadaan kami, jadi sebaiknya kau serahkan saja hadiah itu kepada orang lain yang lebih mampu.” Kakek berkata cukup singkat, dengan halus kakek mempersilahkan kedua pria itu untuk pergi.

“Jika mereka memang berniat untuk memberikan hadiah itu, harusnya mereka bisa memberikannya dengan cuma-cuma. Masih ada hal lain yang jauh lebih berharga dari nilai sepeda motor itu, Guh.” Teguh dan Kakek sadar, mereka tidak akan mungkin bisa mengambil hadiah itu. Bagi mereka, perut bisa terisi setiap hari sudah terasa lebih nikmat.

Teguh menghela nafas panjang. Meski ia masih terlalu kecil, ia cukup mengerti mengapa kakek menolak hadiah itu. Namun ia juga sama sekali tidak mengerti, mengapa sulit sekali mengambil hadiah yang sudah menjadi haknya.

Kakek kembali masuk ke dalam rumah. Ia mengambil kain yang pernah kakek minta waktu itu. Kain itu ia ikatkan pada sebatang galah panjang. Kemudian ia tegakkan persis di depan rumah sederhana mereka. Kain itu tampak melambai-lambai. Meski usang dan dijahit seadanya, warna merah dan putihnya masih tampak jelas. Esok adalah hari kemerdekaan Republik Indonesia. Hari yang selalu kakek banggakan.

“Apa kita harus memberi hormat, Kek?”

“Tidak perlu! Kau hanya perlu menghormatinya dengan hatimu…”

* * *



Juara II Lomba Cipta Cerpen Mahasiswa
se-Kota Medan 2009
yang diadakan oleh
Pers Mahasiswa "Kreatif"
Universitas Negeri Medan

Kamis, 11 Juni 2009

Bagian Mana Yang Salah?

Aku sama sekali tidak mengerti, apa lagi kekurangan yang dimiliki oleh Negara ku yang amat kaya ini. Hutan dengan keanekaragaman hayati dan hewani dengan air yang mengalir jernih di sepanjang sungai, hingga akhirnya bermuara di luasnya bahari. 63 tahun sudah, Negara ini bebas dari belenggu penjajah. Namun ternyata, ruh-ruh penjajah masih saja bergentayangan seperti terus menghantui. Hingga sisa-sisa pembodohan ketika zaman penjajah dulu, masih terus saja melekat. seperti sudah mendarah daging dan menular turun temurun.

Apakah kemiskinan yang membuat mereka bodoh? Hingga mereka tidak pernah berpikir apapun lagi selain isi perut mereka. Mungkin mereka juga tidak akan pernah menyadari jika makanan yang mereka makan telah diberi racun. Bagi mereka, jika perut sudah terisi meski tidak begitu kenyang, itu sudah cukup.

Lantas, mengapa masih begitu banyak kemiskinan? Apakah karena mereka bodoh? Hingga mereka tidak dapat berpikir bagaimana caranya untuk membuat kehidupan mereka sedikit lebih maju, meski hanya satu langkah kedepan. Yang ada dipikiran mereka, hanyalah hidup untuk hari ini. Dan untuk kehidupan besok, maka akan dipikirkan esok pula. Sama saja dengan jalan ditempat, dan tidak melangkah kedepan sedikitpun.

Aku bertanya kepada diriku sendiri, bagian mana yang salah? Kemiskinan kah? Atau kebodohan? Kedua hal itu seperti parasit, menempel erat namun tidak menghasilkan keuntungan apapun.

Lalu, jika ada pilihan, bagian mana yang harus lebih dulu diberantas?

Jika kemiskinan jawabannya, maka aku bisa menjamin kekayaan itu tidak akan berlangsung lama, karena mereka tidak bisa mempertahankan kekayaannya. Sebabnya, karena mereka masih bodoh.

Namun jika kebodohan jawabannya, mungkin itu adalah jawaban yang paling cocok!

Jika semua warga Negara ini pintar, maka tidak akan ada lagi kemiskinan, karena mereka sudah jeli dalam menangkap peluang. Para petani dan peternak akan semakin meningkatkan prestasinya meski hanya mengolah budidaya dibidang mereka masing-masing. Dan para TKI tidak perlu lagi untuk bersusah payah mengadu nasib di Negeri orang, karena Negara ini sudah kaya dan warganya sudah sangat pintar. Kalaupun mereka tetap ingin bertarung di Negeri orang, maka kita tidak akan menemukan lagi kasus para TKI yang disiksa oleh majikan mereka disana. Karena para TKI tersebut sudah sangat pintar dan tahu bagaimana harus menyikapi ulah majikan yang semena-mena.

Sudah tidak terhitung, entah berapa perempuan yang cacat bahkan hilang ingatan karena penganiayaan di Negeri seberang. Apakah karena mereka hanya seorang pembantu rumah tangga, yang oleh sebagian besar orang berpikir bahwa pekerjaan itu memiliki strata yang paling rendah, strata yang diabaikan haknya. Semua orang tahu, bahwa perempuan tidak sama dengan kaum pria. Namun tidak banyak yang menyadari, bahwa daya seorang perempuan tidak pernah lebih dari laki-laki. Mau bagaimana pun kita mencoba memungkiri, perempuan tetaplah kaum yang sangat lemah. Perempuan tidak bisa sepenuhnya bisa mengandalkan tenaganya. Satu-satunya senjata yang dapat melindungi perempuan adalah hati dan otaknya. Jika otak mereka kosong tanpa bekal pengetahuan dan ilmu, maka yang tersisa hanyalah hati. Dan hati kebanyakan perempuan Indonesia terlalu banyak kata maaf dan kepasrahan. Mereka tidak memiliki daya untuk melawan karena tidak tahu apa yang harus diperbuat.

Andai saja, para tenaga kerja wanita yang akan dikirim ke luar Negeri tidak hanya dibekali dengan keterampilan bekerja, namun juga dibekali dengan bagaimana cara untuk membela diri dan diberi pengetahuan tentang batasan-batasan antara majikan dan bawahan, serta dapat memperjuangkan hak mereka, tentu saja korban seperti Siti Hajar tidak akan pernah ada.

Namun begitu pun, pihak berwenang maupun instansi dari Pemerintahan seharusnya tetap mengawasi kelangsungan hidup warga Negaranya dimanapun mereka bekerja.

Kasus Siti Hajar hanyalah satu diantara seribu. Ironisnya, Siti terselamatkan karena Ia yang berusaha sendiri untuk bebas dan mendatangi pihak KBRI dengan dibantu oleh seorang sopir taksi. Lantas, apakah ratusan Siti lain juga harus terlebih dahulu bersakit-sakit mendatangi KBRI untuk bisa selamat, dan bukan sebaliknya?

Lagi-lagi aku bertanya pada diri sendiri, bagian mana yang salah?

Siti yang hanya seorang janda berasal dari Jawa dengan pengetahuan pas-pasan, pihak KBRI yang lamban, Perusahaan yang mengirim Siti tanpa ada pengawasan lebih lanjut, atau keluarga Siti yang miskin dan menggantungkan hidup mereka hanya pada Siti?

Mungkin Siti hanya merasa, Negara tempat Ia tinggal tidak bisa memberikan peluang padanya, karena Negara ini sudah terlalu banyak orang yang lebih pintar darinya. Atau tanah kelahirannya tidak lagi sesubur dulu, hingga tidak ada lagi yang bisa ia garap.

Kenyataan yang sangat pahit, ternyata kemerdekaan tidak sepenuhnya bisa dinikmati oleh seluruh perempuan Indonesia. Dan kini, penjajahan terhadap hak asasi manusia terasa jauh lebih sakit dari yang terdahulu.

Aku, Siti dan perempuan lainnya, sama-sama tidak mengerti bagian mana yang salah, apa dan siapa yang harus disalahkan. Dan mungkin, bukan saatnya mencari apa dan siapa yang salah, tetapi bagaimana pembenahannya.

Selamatkan perempuan Indonesia dari kebodohan dan kelemahan!

Kamis, 23 April 2009

PAYUNG HUKUM PERS MAHASISWA

Pers mahasiswa adalah penerbitan pers (dalam bentuk majalah, tabloid, newsletter, atau media online) yang benar-benar dikelola oleh mahasiswa. Seluruh proses mulai dari mencari berita (informasi), penulisan, tata letak, pra-cetak dan distribusi dilakukan oleh mahasiswa. Selama ini pers mahasiswa di Indonesia identik dengan pemantik perubahan sosial politik yang bekerja di balik layar. Dan proses serta prosedur dalam mengelola suatu informasi menjadi bentuk berita yang layak terbit, sama seperti Media massa lainnya.

Pers Mahasiswa di Indonesia sudah ada sejak masa orde lama puluhan tahun yang lalu. Meski masih berada pada pengawasan yang sangat ketat oleh pemerintahan, sama seperti posisi media pers non-kampus lain, yang ketika itu situasi pembredelan masih menghantui semua media, mulai dari surat kabar harian, mingguan, tabloid hingga majalah politik.

Seperti kasus surat kabar Universitas Indonesia, Makara, yang dilarang terbit setelah mengeluarkan satu-satunya edisi pada 12 Mei 1981. Larangan terbit itu disebabkan oleh karena Makara tidak memiliki Surat Izin Terbit (SIT) atau Surat Tanda Terdaftar (STT). Pada masa orde baru tersebut, segala tindak tanduk serta pergerakan pers, baik setiap tulisan bahkan pertemuan-pertemuan ilmiah masih dalam pengawasan penuh oleh alat Negara. Tidak tanggung-tanggung, setiap kali akan mengadakan pertamuan ilmiah, pihak kepanitian harus mendapatkan izin terlebih dahulu pada pihak Kepolisian. Dan kegiatan ilmiah tersebut dijaga ketat oleh alat Negara yang berpakaian layaknya warga sipil. Mereka bahkan tidak segan-segan akan mencoret nama pembicara yang tidak diinginkan untuk mengemukakan pandangannya.

Sudah lebih dari seperempat abad yang lalu, sejak pembredelan Makara. Namun pada kenyataannya, pers kampus atau pers mahasiswa hingga saat ini masih tetap saja mendapatkan intimidasi serta berbagai hal yang sifatnya menyerupai sebuah ancaman bagi eksistensi Persma. Saat ini hampir di seluruh pelosok Negeri terdapat Lembaga Persma di setiap Universitas, mulai dari NAD hingga Nusa Tenggara Timur.

Untuk Sumatera Utara sendiri, Pers Mahasiswa yang masih tetap bertahan hanya ada 5 Lembaga Persma. Yakni, Suara Usu dari Universitas Sumatera Utara (USU), Kreatif Universitas Negeri Medan (Unimed), Dinamika dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Teropong Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), dan Moderato Universitas Islam Sumatera Utara (UISU).

Pada dasarnya, Pers Mahasiswa adalah salah satu unit kegiatan mahasiswa yang kebanyakan masih berada di bawah pihak Rektorat. Dimana semua media atau produk yang dikeluarkan oleh Lembaga Persma tersebut masih ada yang disubsidi oleh Kampus. Dan hal itu lah yang menjadi salah satu kendala terbesar, dimana ketergantungan akan subsidi tersebut menjadikan isi pemberitaan yang dikeluarkan tetap harus melalui penyaringan oleh pihak Rektorat. Mereka seolah tidak ingin nama Universitas menjadi cacat dimata orang-orang.

Belum lagi jika isi berita ternyata justru mengungkap fakta tentang birokrasi kampus yang menuai kontroversi. Pihak kampus tidak akan tinggal diam dan malah akan bertindak dengan membredel Lembaga Persma tersebut, dan tidak segan-segan mancabut izin ‘operasi’nya.

Kendala lainnya adalah, jika pihak kampus sama sekali tidak mendukung Lembaga yang menampung aspirasi Mahasiswa tersebut, dengan cara tidak memberi subsidi sama sekali untuk mengeluarkan media. Padahal, Lembaga pers bukan hanya tempat untuk menampung aspirasi mahasiswa saja, tetapi merupakan wadah untuk menempah insan-insan Pers muda yang fresh, kreatif dan inovatif dengan segala bentuk pemikiran mereka.

Pers mahasiswa tidak bisa dipandang sebelah mata, dan bukanlah pers yang tidak memiliki aturan atau kode etik. Pers Mahasiswa bahkan memiliki Anggaran Rumah Tangga & Anggaran Rumah Tangga (ADRT) yang diperlukan sebagai landasan moral/etika. PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia) dalam kongres yang pernah dilaksanakan pada September 2005 di Malang menyebutkan bahwa kode etik PPMI berperan sebagai pengawal dan pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan mahasiswa.

Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Sumut, H. Muchyan AA menerangkan bahwa Pers Mahasiswa memiliki perlindungan yang sama dengan lembaga pers nasional lain yang setara dengan PWI, PFI (Pewarta Foto Indonesia) dsb, yakni dalam UU No.40 thn 1999 tentang Pers. Dalam konsideran Undang-Undang huruf c tersebut tertulis jelas bahwa “pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaaan dari manapun”.

Pers Mahasiswa manapun tidak menginginkan jika lembaga persma tersendat hanya karena berbenturan dengan pihak Universitas, karna Lembaga ini adalah salah satu penampung aspirasi Mahasiswa, dan akan mengecewekan sekali jika pihak Rektorat malah meng-cut berita atau tulisan yang sudah susah payah dihimpun oleh wartawan mahasiswa. Sebab hal tersebut sama saja dengan melanggar UUD dalam hal mengeluarkan pendapat.

Seharusnya pihak Universitas selalu mendukung semua aktifitas Mahasiswanya, tidak terkecuali Lembaga Persma. Sebab lembaga ini membawa nama Universitas. Mengingat sistem sirkulasi atau distribusi media Persma hingga ke hampir seluruh Persma yang ada di Indonesia.

Jadi meskipun hanya Pers Mahasiswa yang memiliki sekup intern dalam kampus, namun tetap memiliki perlindungan yang sama di mata hukum, selama mereka masih tetap menjalankan kegiatan Persma dengan professional dan tetap berpatok pada kode etik Jurnalistik. Dan semoga, para Dewan Pers yang terhormat dapat terus mengkontrol perkembangan Pers Mahasiswa di Indonesia.


=Harian Global, Sabtu 25 April 2009=

Jumat, 03 April 2009

Sehari 5 kali

Siapa yang menyangka, Teropong_organisasi tempat aku bernaung dan meniti karir hualah! yang telah mengukir banyak prestasi bahkan nyaris tidak pernah mengalami kendala setiap kali bikin kegiatan, dan sangat “dicintai” oleh Rektorat, malah mengalami berbagai kesialan hanya dalam kurun waktu satu hari.

Semua berawal ketika kami mengadakan Inisiasi di Bumi Perkemahan Sibolangit. Inisiasi adalah program kerja tahunan salah satu divisi yang ada di Teropong, yakni divisi Litbang (penelitian dan pengembangan). Konsepnya adalah pengkaderan sekaligus pengukuhan anggota magang menjadi anggota muda. Acara berlangsung selama tiga hari. Pada hari pertama dan kedua, acara berjalan dengan sangat mulus, bahkan sampai hari ketiga pun semuanya berjalan lancar. 

Sinabung Sialan!

Kira-kira pukul 3 sore di hari ketiga, ketika semuanya siap-siap untuk pulang, Sigit_si panitia seksi Transportasi, menyampaikan kabar tidak sedap. Bus Sinabung yang seharusnya menjemput kami, tidak bisa datang. Ternyata, kami ditipu kernet yang mengurus administrasi bus. Si kernet sialan itu hanya membayarkan sekitar 200 ribu kepada sopir untuk antar saja. Padahal kami sudah membayar 450 ribu sebagai panjar untuk antar-jemput. Kernet bus aja bisa korupsi, apalagi yang laen??.

Seperti disambar petir rasanya. Di benakku langsung terbayang hal-hal yang mengerikan.
Pulang naek apa neh? Malah duit udah habis, bekal juga udah habis. Setelah mencoba tenang di tengah kepanikan, aku langsung berpikir keras, sambil mencari-cari daftar nama di phone book, siapa yang kira-kira bisa menjemput ku di kampus. Si anu…ngga ah! (kegeeran pulak nanti), Si inu…ah malas! (tak mantap) Si unu…gensi donk (masih sempet-sempetnya mikirin gengsi!) Aha! Dapet satu nama. Ade! (sepupu gadungan ku).
Tuutt…tuuuttt… begh! Tak diangkat, rupanya lagi main bola. SMS aja. Eh dibales, Syukur… satu masalah aman.

Jarak dari Mess (PTPN-4) tempat kegiatan Inisiasi ke depan pintu gerbang Sibolangit, lumayan jauh. Kami pun terpaksa jalan kaki dengan memboyong semua perlengkapan. Mulai dari peralatan masak (kompor, kuali, dandang), peralatan makan (piring, gelas, mangkok), dispenser, ember, tikar bergulung-gulung, rice cooker dan banyak lagi. Koq kayak pindah kos ya?? Belum lagi peralatan masing-masing, Tas, ransel, sleeping bad, macem-macem lah. Mending juga kalau jalan yang dilewati mulus dan rata. Eh, jalannya tu bak Ninja Hatori (mendaki gunung lewati lembah, sungai mengalir indah…) bener-bener kayak nyanyian zaman TK dulu (kiri…kanan…kulihat saja, banyak pohon stroberi_cemara_adanya stroberi_iklan kali bah!)


Si Kuning

Setelah betis cukup bengkak karena jalan kaki sambil membawa Dispenser ciing…sampai juga di Gerbang Sibolangit. Sambil menunggu teman-teman lain yang sibuk menawar bus yang lewat, yang lainnya sibuk berpoto ria, termasuk aku. Dua-tiga bus, tidak ada yang deal. Ciiitt…Eh, sekonyong-konyong satu unit truk bak terbuka berwarna kuning, spontan berhenti. Aku lihat beberapa teman ku langsung menghampiri dan langsung bernego. Cas..cis..cus…deal! mereka berbalik arah dan berkata,
“Yook, kita susun barang-barangnya dulu…”
What??!! Naek truk?? Truk gitu loh coy??

Dengan harga 200 ribu, kami semua akhirnya pulang juga dengan si kuning itu. Dalam hatiku, mudah-mudahan ini truk bekas ngangkut kayu atau barang, asal jangan bekas ngangkut binatang yang “ngorok-ngorok” itu. Hii… amit-amit. Tapi temen aku bilang,
“tenang aja kak, ini truk bekas ngangkut kayu pabrik.” Ohh… lega aku.

Untung lah, truknya tidak begitu kotor. Jadi kami bisa duduk dialasi tikar. Semua tertawa gembira. Saking ngga pernah-pernahnya dalam sejarah Teropong, pulang kegiatan naik Truk. Jepret!! Setiap moment diabadikan. Mulai dari naik, sampai truk berjalan. Terus terang aku juga sangat menikmati perjalanan itu. Sempat terlintas di pikiran kami, gimana kalo ujan ne?? tapi melihat awan yang cukup cerah, kami yakin kalau perjalanan akan aman.

Byurr…

Perjalanan mulai melewati Sembahe, salah satu tempat wisata di Sumut yang sering di datangin anak sekolah dari penjuru daerah kalau lagi lulus-lulusan (coret-coret baju). beberapa dari kami sempat tertidur, bagitu juga dengan aku. Aku tidak tahu berapa lama aku terlelap. Tiba-tiba aku dibangunkan oleh suara ricuh teman-teman sambil teriak Ujan..ujan..

Wups! Benar saja. Hujan turun dengan derasnya. Semua sibuk menyelamatkan barang-barang yang sensitive dengan air. Handphone dan kamera kami kumpulkan dalam satu kantong plastik dan dilapisi sleping bad. Sementara kami berlindung dibawah tikar. Tapi tikar hanyalah tikar. Tidak bisa menampung air hujan. Aku teringat ranselku, didalamnya ada kamera, laptop plus chargernya. Tanpa mikirin badan ku yang basah kuyub, aku cepat-cepat melindungi dan memastikan kalau hartaku itu aman. Maklum saja, kamera bukan punya aku, tapi punya salah satu teman dekatku. Dan laptop, tentu saja amanah milik orang tuaku. Tikar tidak lagi berguna. Kami semua basah kuyub dan menggigil kedinginan. Di saat-saat yang seperti itu pun masih saja ada teman ku yang tertawa kegirangan. Termasuk aku juga sich…

Memasuki Jln.Jamin Ginting, ku lihat tanahnya kering, tanpa genangan air sedikit pun. Berarti tadi itu cuma hujan lokal. Hhh…syukurlah. Sesampainya di simpang pos, kami semua bersiap untuk turun. 
Weitz, koq malah turun, kan belum nyampe kampus bez?? 
Cuma karena alasan takut ketahuan dengan atasan kalau truknya malah mengangkut orang-orang diluar pekerjaannya. Ahh… tega nian si sopir.
Kami pun turun dipinggir jalan yang ramai, malah nyaris buat kemacetan. Lagi-lagi harus sabar. Biar gimanapun sudah syukur si sopir truk mau mengangkut kami. Dari jalan ini, kami berpisah. Beberapa orang sudah pulang dan naik angkutan lain yang langsung menuju rumah. Sementara beberapa orang lagi harus kembali kekampus untuk membawa barang-barang. Diantaranya aku.

16 atau 17 orang??

Seorang sopir angkutan umum Rahayu (aku lupa berapa nomer dan tujuannya) berwarna merah dan hijau lumut mencoba bernego. Hasil akhirnya, 65 ribu untuk 16 orang plus barang sampai kampus. Baru sekitar lima menit perjalanan. Si sopir sedikit protes, 
“Dek, tadi katanya 16 orang, kok sekarang ada 17 orang, cemananya kelen ini???” celetuknya dengan logat batak yang sangat kental. Masing-masing menghitung. 

Ups! Ternyata bener, ada 17 orang yang naik. Si sopir terus merepet-repet. Sementara, si ketua rombongan, Arif yang sudah terlanjur emosi, malah balik marah-marah. Wadoh! bisa kacau ne urusannya. Ngga mungkin juga kami turun lagi, cuma karna slip satu orang. Aku yang duduk di depan (sebelah abang sopir), mencoba menenangkan 
“Maap bang, mungkin tadi kami yang itung,” kataku. 
“Haa..gitu lah, kan aku tahu jadinya. Gampang ajanya samaku…” jawab si abang sopir.

Setelah ketegangan itu, suasana sempat hening beberapa saat. Sampai akhirnya kami sadar, koq perjalanan malah makin jauh ngga tahu mau kemana. Ternyata si abang menyangka letak kampus kami di Amplas, jarak yang cukup jauh dari Muchtar Basri (Kampus kami). 
“Bilang lah dek, kalo kampus kelen di Glugur, abang kira tadi yang ke arah Amplas itu.”
“Lha, kami kira abang udah tau, makanya jalan aja.”
Hadoh, ini siapa yang bego sih??
“Jadi abis ini, kita kemana lagi? Mutar lah kita ya…” tanya si abang.
Wahh… ini siapa yang sopir siapa yang jadi penumpang ya?? 
Malah jadi kami navigatornya. 
Abis ini bang, ambil kiri aja, terus ke kanan, terus aja bang…bla..bla..bla..

Kuncinya Mana??

Sekitar pukul 18.30, kami tiba di kampus. Bayangkan, perjalanan yang seharusnya cuma satu setengah jam, ternyata harus kami tempuh sampai dua setengah jam, dari pukul 4 sore. Semua barang-barang pun kami turunkan persis di parkir mobil WR (Wakil Rektor). Setelah semua barang turun, dan si abang dudunk itu pergi dengan ongkos 70 ribu. Kami terhenyak sesaat. 

“Kunci sekret sama siapa bang??” 

Wadoh!!! tidak satupun diantara kami yang megang kunci sekretariat Teropong. Yang lainnya sudah pada pulang. Tinggal kami ber-enam yang terpaksa menunggu lagi sampai si Juru kunci (Andi) datang dari rumahnya di Marelan. Sambil nunggu, kami mencari-cari sesuatu yang bisa dimakan. Untung masih ada nasi, dan lauk sisa makan siang. Dengan keadaan seadanya, dan masih berada di parkir mobil WR, kami makan bersama-sama. (kayak tuna wisma yang ngga punya rumah) Huh!! Tapi berhubung lapar berat dan tidak tahu lagi seberapa beratnya, kami tidak perduli lagi.

Sampai akhirnya, sang juru kunci tiba. Kami selamat!
Dan lengkaplah sudah perjalanan sekaligus kesialan kami selama satu hari.
“Woi, kayaknya kita mesti sedekah, biar berkah!”


30 Maret 2009

Pohon-Pohon Yang Malang

Fungsi pepohonan yang berjejer di sepanjang jalan, selain untuk memperindah dan memberi kesan sejuk bagi pengguna jalan di kota Medan juga berfungsi untuk menyaring polusi udara yang kerap memproduksi Karbondioksida (CO2). Lapisan ozon yang semakin menipis membuat sinar matahari semakin terik hingga kita sering merasa suhu udara sangat panas pada siang hari. Namun ternyata fungsi pohon yang berada di sepanjang trotoar jalan raya, malah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memasang segala bentuk poster, dan semacamnya.

Poster ataupun iklan tersebut di pasang dengan cara memasang paku hingga berukuran 5 inchi. Bayangkan saja jika dalam satu pohon terdapat minimal 5 buah paku, maka jika dikalikan dengan 1000 pohon maka ada 5000 buah paku yang tertempel di pohon-pohon kota. Bisa dibayangkan betapa menderitanya pohon-pohon tersebut. Belum lagi jika Pemko terkadang banyak sekali menebang pohon-pohon tersebut dengan alasan untuk merapikan bentuk pohon demi keindahan kota. Namun yang terjadi adalah jalanan terasa panas, apalagi saat pengguna jalan sedang melintasi trotoar dan tengah terjebak di Traffic Light. Sampai-sampai teman saya yang liburan atau berkunjung ke kota Medan, kesan mereka adalah Medan kota yang sangat panas dan gersang.

Hal itu tentu saja sangat berdampak bagi pariwisata kota Medan sendiri. Jika image Medan yang panas itu sampai terdengar hingga ke seluruh pelosok negeri, maka tidak akan ada lagi wisatawan domestic maupun wisatawan asing yang tertarik untuk berkunjung kembali.

Harapan saya semoga semua pihak lebih memikirkan nasib pohon-pohon kota. Bagaimanapun juga pohon-pohon itu telah memberikan kita persediaan oksigen yang banyak untuk kelangsungan hidup kita.

Lets Go Green!!!

Selamatkan Pohon-pohon kota.

(Sierly Nolia-Harian Global)

Tak Kenal Siapa Caleg

Sebentar lagi warga Indonesia akan mengadakan pesta demokrasi. Dimana pada saat itu seluruh warga dari Sabang hingga Merauke akan menggunakan hak pilihnya untuk memilih dan menentukan siapa yang akan berhak menduduki kursi-kursi di DPRD, DPD, DPR-RI hingga Presiden. Dan dalam waktu dekat ini, tepatnya pada bulan April 2009 dijadwalkan akan segera melakukan Pemilihan Umum. Ratusan hingga ribuan poster wajah Calon Legislatif khususnya untuk DPRD Sumatera Utara terpampang di hampir seluruh pelosok daerah.

Selain merusak pemandangan kota, jalan, dan pepohonan yang harus menderita karena puluhan paku yang tertancap ditubuhnya, percaya atau tidak bahwa sebagian besar masyarakat tidak pernah mengenal dan mengetahui siapa wajah-wajah yang kerap tertempel di pinggir jalan tersebut. Ketika melintas, mungkin mereka hanya sekedar melirik dan melihat pose wajah di poster tersebut, syukur-syukur jika masyarakat masih mau membaca nama dan perwakilan dari partai apa si Caleg itu. Tapi kenyataan yang terjadi adalah masyarakat tidak kenal bahkan tidak perduli.

Jika seperti ini kejadiannya, maka bagaimana mungkin mereka dapat menggunakan hak pilihnya untuk mencontreng si Caleg, jika mereka sendiri tidak tahu menahu sedikit pun tentang siapa wajah-wajah tersebut. Miris sekali rasanya, jika kita melihat kenyataan yang seperti ini. Ketika tata kota yang sudah jelek karena poster-poster dan pepohonan yang kesakitan menanggung ribuan paku belum lagi milyaran rupiah yang harus dikeluarkan untuk menempah segala atribut kampanye, padahal masyarakat tidak perduli.

Masyarakat tentu saja tidak mengharapkan para Caleg yang hanya jual tampang di pinggir jalan, tetapi bukti dan perbuatan konkrit yang dapat menguntungkan dan berguna bagi masyarakat. Bagaimanapun juga, yang diharapkan dari hasil pesta demokrasi mendatang adalah adanya perubahan yang lebih baik dari sebelumnya. Bukan sekedar jual tampang dan senyuman di poster-poster pinggir jalan.