Senin, 15 Juni 2009

H A D I A H

Hidup terkadang sulit untuk dimengerti.

Orang bilang, kau tidak perlu mengerti tentang hidup,

Apa dan bagaimana bentuk ia sebenarnya.

Jadi apapun yang hidup berikan.

Nikmati saja.

Kemarin, hari ini, dan juga esok.

Kehidupan dimulai ketika seluruh panca indra terbuka. Ketika semua manusia terjaga bersama sang fajar. Seperti biasanya, semua pedagang pasar tengah bersiap-siap mengangkut semua dagangan untuk dijajakan, para ibu yang juga sedang menyiapkan segala perlengkapan untuk suami dan anak-anak mereka, dan para abdi Negara juga tengah bersiap-siap menjalankan tugas menertibkan keruwetan lalu lintas demi kenyamanan warga.

Jika hampir seluruh anak-anak di Kota ini sedang bersungut-sungut memakai seragam putih merah sambil mengencangkan ikatan sepatu hitam mereka, tetapi hal yang seperti itu bukanlah rutinitas bagi hidup Teguh.

Bocah berusia 11 tahun itu tidak terlihat sibuk dengan seragam putih merahnya, ia justru disibukkan dengan karung-karung bekas yang ia panggul. Seperti biasa, ia harus segera bergegas ke pasar untuk mencari barang-barang bekas yang sekiranya dapat diganti dengan rupiah. Sebab di pasar pagi, usai transaksi jual beli, biasanya akan banyak sekali sampah plastik.

“Sudah mau berangkat kau, Guh?” tanya seorang lelaki tua yang baru saja terjaga.

“Iya, Kek. Mulai hari ini aku harus pergi lebih pagi. Banyak barang yang harus ku cari,” Teguh menyeruput sedikit air putih.

“Jangan lupa kain yang Kakek pesan. Tidak usah yang terlalu lebar, yang kecil saja pun jadilah,” lelaki tua itu perlahan bangkit dari rebahannya, kemudian dipakainya baju berlambang partai yang ia dapatkan ketika kampanye setahun lalu. Ia sama sekali tidak mengenal partai apa yang terpampang di punggungnya, yang ia tahu adalah baju itu bisa melindungi kulit rentanya meski tidak bisa menghangatkannya dari cuaca dingin karena bahannya yang sangat tipis.

Setelah berpamitan, Teguh keluar dari rumahnya yang hanya terdiri dari susunan papan usang. Selama hampir 5 tahun lamanya, ia hidup berdua dengan Kakek. Bapak dan Emak sudah lama meninggal, ketika sebuah pesawat meluluhlantakkan rumah dan seluruh penghuninya yang saat itu juga menewaskan mantan Gubernur Sumatera Utara di pagi hari yang tidak begitu cerah. Saat itu, Teguh tengah bersama sang Kakek berburu kodok hijau yang jaraknya lumayan jauh dari rumah untuk dijual di pasar. Kakek memang terbiasa mencari apa saja yang bisa ditukar dengan lipatan-lipatan rupiah.

Hari ini Medan terasa begitu panas. Ada dua karung bekas yang ia pikul. Yang satu untuk menampung barang-barang plastik, seperti bekas air mineral atau minuman kaleng. Sedangkan yang satu lagi ukuran karungnya tidak terlalu besar. Di dalamnya khusus untuk sampah bekas Mie Instan dari salah satu produk ternama. Menjelang sore hari, ia pun bergegas menuju lapak tempat biasa ia menukarkan hasil pungutannya. Setelah menerima upah, ia pun langsung pergi.

Diintipnya jam yang terpajang dalam sebuah toko kelontong. Sudah pukul 4 sore lebih sedikit. Buru-buru ia mengeluarkan uang seribu rupiah. Dan menukarkannya dengan dua lembar amplop putih bersih dari sebuah toko Foto Copy.

Di bawah rimbunan pohon Akasia lapangan Merdeka, ia duduk seraya membersihkan bungkusan Mie Instan yang ia kumpulkan hari ini. Kemudian ia lipat dengan rapi ke dalam dua lembar amplop. Ia rekatkan dengan lem kanji yang sengaja ia bawa dari rumah. Setelah itu, ia menuliskan sebuah alamat di permukaan amplop yang ia contek dari sobekan kertas kecil dari balik sakunya. Dipandangnya dua amplop tadi sambil tersenyum sumringah.

Dengan penuh semangat, ia melenggang masuk ke dalam sebuah gedung megah berasitektur Belanda yang letaknya hanya 50 meter dari tempat ia duduk tadi. Seorang pria berseragam putih biru mengamati gerak-geriknya sedari tadi.

“Sedang apa kamu disini, Dik??” Tanya pria itu seraya melihat penampilan Teguh yang lusuh. Karena sudah berjam-jam berjemur di bawah terik matahari.

“A..aku mau kirim amplop ini.” Seragam yang dikenakan Pria itu ditambah raut wajah sangar dan tubuh yang tegap, membuatnya gugup. Seumur hidupnya, ia tidak pernah berbicara atau berhadapan dengan orang lain kecuali Bapak, Emak, Kakek dan teman-teman yang berada di sekitar rumahnya.

“Ooh…mari sini Bapak antar ke loket.” Ternyata pria itu tidak seseram yang ia bayangkan.

Loket itu terlalu tinggi, sehingga ia tidak bisa melihat petugas pos yang berada dibaliknya. Lagi-lagi satpam ramah itu membantunya menyerahkan kedua amplop itu kepada petugas. Tidak lama kemudian si pria baik hati itu berbalik ke arahnya.

“Dik, surat ini harus disertakan dengan Perangko.”

“Perangko?? Apa itu??” Tanya Teguh heran. Si satpam berpikir sejenak untuk mencari penjelasan yang mudah dimengerti anak seumuran Teguh.

“Perangko itu kertas kecil bergambar yang biasanya ditempel di sudut kiri surat, gunanya agar surat kamu cepat sampai.”

Teguh mengangguk-angguk tanda mengerti.

“Ya sudah Pak, tempel saja.”

“Kamu mau harga perangko yang berapa?” Si satpam bertanya lembut.

“Memangnya berapa harganya??” Teguh balik bertanya.

Ada yang harganya 2000, ada juga yang 2500. Kamu mau yang mana??”

Teguh terperangah sejenak. Ia tidak menyangka jika ingin mengirim surat harus mengeluarkan uang lagi. Di rogohnya kembali kantung celananya. Hanya tersisa 8 ribu rupiah. Seribu rupiah untuk ongkos pulang, tiga ribu rupiah untuk makan, dan sisanya harus ia tabung untuk membeli obat. Ia teringat batuk kakek yang tidak kunjung sembuh, karena kakek sering sekali keluar pada tengah malam untuk mencari kodok, belut bahkan kalong.

Ahh..bagaimana ini?

Terpaksa kali ini ia harus mengurangi tabungannya untuk selembar perangko. Berarti ia hanya bisa mengirim satu amplop saja.

“Ini Pak, aku pakai perangko yang 2000 saja.” Diserahkannya selembar uang kumal seribu rupiah dan dua keping pecahan 500 rupiah. Tak apalah, pikirnya. Yang penting satu surat sudah bisa terkirim.

Usai dari kantor pos, ia pun segera menuju pasar yang menjual banyak kain. Bukan untuk membeli satu meter kain. Tetapi justru mencari siapa tahu ada sisa-sisa kain yang tercecer di depan toko. Setelah cukup lama berkeliling, ia temukan juga kain dua warna yang diinginkan kakek, meski ukurannya berbeda.

Satu bulan berlalu sudah. Setiap kali Teguh berada di Pasar atau dimana saja, ia selalu menyempatkan diri untuk melirik televisi yang ada di dalam Toko. Siapa tahu saja, namanya akan muncul sebagai pemenang kuis yang ia kirim sebulan lalu. Tetapi di akhir bulan, harapannya semakin pupus. Ia tidak bisa selalu mengikuti kuis yang diumumkan di televisi. Ia juga tidak bisa membeli koran setiap hari. Teguh pun pasrah.

Di satu sore yang cerah, dua orang pria mengenakan kemeja putih dan celana hitam berbahan menyambangi kediaman Teguh dan kakek. Kakek pun mempersilahkan keduanya duduk di atas dipan teras rumah. Setelah memperkenalkan diri, barulah kakek tahu bahwa mereka berdua adalah kurir dari perusahaan Mie Instan.

Kakek menyuruh Teguh untuk menghidangkan dua cangkir air putih, maklum saja hanya itu yang mereka punya. Dua lelaki itu pasti sudah lelah berkeliling mencari alamat rumah Teguh yang letaknya jauh dari Kota. Tanpa panjang lebar lagi, kedua pria tadi menjelaskan maksud kedatangannya.

Dengan tutur kata halus, mereka memberitahukan bahwa Teguh berhasil memenangkan kuis yang diadakan perusahaan Mie Instan tersebut. Meski bukan hadiah utama, tetapi Teguh berhasil memenangkan sebuah sepeda motor jetmatic keluaran terbaru. Spontan Teguh berteriak kegirangan. Meski dalam hati kecilnya, ia menyayangkan mengapa tidak uang saja sebagai hadiahnya. Ah, tidak apa. Kelak sepeda motor itu bisa dijual dan uangnya bisa digunakan untuk keperluan yang lain.

Semula kakek tidak begitu saja percaya. Tetapi kedua pria itu membawa bukti yakni surat keterangan dari Perusahaan, serta sebuah surat kabar yang memuat nama dan alamat Teguh. Namun, kakek tidak melihat mereka membawa sepeda motor tersebut.

“Lalu, mana hadiahnya? Saya lihat kalian tidak membawa apa-apa.”

“Oh, begini Pak. Sekarang kami hanya diberi perintah oleh perusahaan untuk mengecek alamat pemenang, dan menjelaskan beberapa persyaratan untuk mengambil hadiahnya,” Jelas si pria berkulit sawo matang.

Kakek tampak mengeryitkan dahinya. Rekan di sebelahnya kemudian mengeluarkan selembar kertas berwarna kuning. Yang di dalamnya banyak sekali data-data yang harus diisi oleh pemenang.

“Nah, disini ada data yang harus diisi, dan Teguh juga harus menyiapkan surat keterangan dari kelurahan hingga kecamatan, bahwasannya Teguh memang merupakan penduduk sesuai alamat ini. Beserta Foto Copy KTP atau SIM.” Tambah pria itu panjang lebar. Kakek pun semakin tidak mengerti. Bagimana mungkin Teguh memiliki KTP dan SIM, sementara ia hanyalah seorang bocah yang masih berumur 11 tahun. Kedua pria itu sepertinya bisa menangkap apa yang dipikirkan kakek.

“Kalau Teguh tidak punya KTP, minimal Teguh harus memiliki surat keterangan resmi dari RT atau Kepala Desa setempat. Nanti akan kami bantu mengurusnya.”

Kakek masih diam seribu bahasa. Sedangkan Teguh, seperti bayangan kakek, ia pun larut dalam lamunan tanpa arah. Hanya bisa memperhatikan ketiga pria di depannya saling berbicara.

Pada poin terakhir yang ada dalam kertas kuning tersebut tertulis, pajak hadiah ditanggung oleh pemenang. Lagi-lagi tanpa kakek bertanya, kedua pria tadi memberi penjelasan.

“Pak, hadiah sepeda motor ini bernilai 12 juta rupiah, jadi bapak hanya membayar pajaknya saja sebesar 10% dari total hadiah, yaitu Rp.1.200.000,- saja. Ditambah jasa kurir sebesar Rp.150.000,-. Jadi setelah bapak melengkapi surat-surat tadi dan membayar pajak hadiah barulah sepeda motornya bisa langsung kami kirim. Namun jika bapak tidak mengambilnya dalam kurun waktu satu bulan, maka hadiah itu akan dianggap hangus.”

Kakek meletakkan kertas kuning yang tadi di genggamnya.

“Kau tentu bisa lihat keadaan kami, jadi sebaiknya kau serahkan saja hadiah itu kepada orang lain yang lebih mampu.” Kakek berkata cukup singkat, dengan halus kakek mempersilahkan kedua pria itu untuk pergi.

“Jika mereka memang berniat untuk memberikan hadiah itu, harusnya mereka bisa memberikannya dengan cuma-cuma. Masih ada hal lain yang jauh lebih berharga dari nilai sepeda motor itu, Guh.” Teguh dan Kakek sadar, mereka tidak akan mungkin bisa mengambil hadiah itu. Bagi mereka, perut bisa terisi setiap hari sudah terasa lebih nikmat.

Teguh menghela nafas panjang. Meski ia masih terlalu kecil, ia cukup mengerti mengapa kakek menolak hadiah itu. Namun ia juga sama sekali tidak mengerti, mengapa sulit sekali mengambil hadiah yang sudah menjadi haknya.

Kakek kembali masuk ke dalam rumah. Ia mengambil kain yang pernah kakek minta waktu itu. Kain itu ia ikatkan pada sebatang galah panjang. Kemudian ia tegakkan persis di depan rumah sederhana mereka. Kain itu tampak melambai-lambai. Meski usang dan dijahit seadanya, warna merah dan putihnya masih tampak jelas. Esok adalah hari kemerdekaan Republik Indonesia. Hari yang selalu kakek banggakan.

“Apa kita harus memberi hormat, Kek?”

“Tidak perlu! Kau hanya perlu menghormatinya dengan hatimu…”

* * *



Juara II Lomba Cipta Cerpen Mahasiswa
se-Kota Medan 2009
yang diadakan oleh
Pers Mahasiswa "Kreatif"
Universitas Negeri Medan

Kamis, 11 Juni 2009

Bagian Mana Yang Salah?

Aku sama sekali tidak mengerti, apa lagi kekurangan yang dimiliki oleh Negara ku yang amat kaya ini. Hutan dengan keanekaragaman hayati dan hewani dengan air yang mengalir jernih di sepanjang sungai, hingga akhirnya bermuara di luasnya bahari. 63 tahun sudah, Negara ini bebas dari belenggu penjajah. Namun ternyata, ruh-ruh penjajah masih saja bergentayangan seperti terus menghantui. Hingga sisa-sisa pembodohan ketika zaman penjajah dulu, masih terus saja melekat. seperti sudah mendarah daging dan menular turun temurun.

Apakah kemiskinan yang membuat mereka bodoh? Hingga mereka tidak pernah berpikir apapun lagi selain isi perut mereka. Mungkin mereka juga tidak akan pernah menyadari jika makanan yang mereka makan telah diberi racun. Bagi mereka, jika perut sudah terisi meski tidak begitu kenyang, itu sudah cukup.

Lantas, mengapa masih begitu banyak kemiskinan? Apakah karena mereka bodoh? Hingga mereka tidak dapat berpikir bagaimana caranya untuk membuat kehidupan mereka sedikit lebih maju, meski hanya satu langkah kedepan. Yang ada dipikiran mereka, hanyalah hidup untuk hari ini. Dan untuk kehidupan besok, maka akan dipikirkan esok pula. Sama saja dengan jalan ditempat, dan tidak melangkah kedepan sedikitpun.

Aku bertanya kepada diriku sendiri, bagian mana yang salah? Kemiskinan kah? Atau kebodohan? Kedua hal itu seperti parasit, menempel erat namun tidak menghasilkan keuntungan apapun.

Lalu, jika ada pilihan, bagian mana yang harus lebih dulu diberantas?

Jika kemiskinan jawabannya, maka aku bisa menjamin kekayaan itu tidak akan berlangsung lama, karena mereka tidak bisa mempertahankan kekayaannya. Sebabnya, karena mereka masih bodoh.

Namun jika kebodohan jawabannya, mungkin itu adalah jawaban yang paling cocok!

Jika semua warga Negara ini pintar, maka tidak akan ada lagi kemiskinan, karena mereka sudah jeli dalam menangkap peluang. Para petani dan peternak akan semakin meningkatkan prestasinya meski hanya mengolah budidaya dibidang mereka masing-masing. Dan para TKI tidak perlu lagi untuk bersusah payah mengadu nasib di Negeri orang, karena Negara ini sudah kaya dan warganya sudah sangat pintar. Kalaupun mereka tetap ingin bertarung di Negeri orang, maka kita tidak akan menemukan lagi kasus para TKI yang disiksa oleh majikan mereka disana. Karena para TKI tersebut sudah sangat pintar dan tahu bagaimana harus menyikapi ulah majikan yang semena-mena.

Sudah tidak terhitung, entah berapa perempuan yang cacat bahkan hilang ingatan karena penganiayaan di Negeri seberang. Apakah karena mereka hanya seorang pembantu rumah tangga, yang oleh sebagian besar orang berpikir bahwa pekerjaan itu memiliki strata yang paling rendah, strata yang diabaikan haknya. Semua orang tahu, bahwa perempuan tidak sama dengan kaum pria. Namun tidak banyak yang menyadari, bahwa daya seorang perempuan tidak pernah lebih dari laki-laki. Mau bagaimana pun kita mencoba memungkiri, perempuan tetaplah kaum yang sangat lemah. Perempuan tidak bisa sepenuhnya bisa mengandalkan tenaganya. Satu-satunya senjata yang dapat melindungi perempuan adalah hati dan otaknya. Jika otak mereka kosong tanpa bekal pengetahuan dan ilmu, maka yang tersisa hanyalah hati. Dan hati kebanyakan perempuan Indonesia terlalu banyak kata maaf dan kepasrahan. Mereka tidak memiliki daya untuk melawan karena tidak tahu apa yang harus diperbuat.

Andai saja, para tenaga kerja wanita yang akan dikirim ke luar Negeri tidak hanya dibekali dengan keterampilan bekerja, namun juga dibekali dengan bagaimana cara untuk membela diri dan diberi pengetahuan tentang batasan-batasan antara majikan dan bawahan, serta dapat memperjuangkan hak mereka, tentu saja korban seperti Siti Hajar tidak akan pernah ada.

Namun begitu pun, pihak berwenang maupun instansi dari Pemerintahan seharusnya tetap mengawasi kelangsungan hidup warga Negaranya dimanapun mereka bekerja.

Kasus Siti Hajar hanyalah satu diantara seribu. Ironisnya, Siti terselamatkan karena Ia yang berusaha sendiri untuk bebas dan mendatangi pihak KBRI dengan dibantu oleh seorang sopir taksi. Lantas, apakah ratusan Siti lain juga harus terlebih dahulu bersakit-sakit mendatangi KBRI untuk bisa selamat, dan bukan sebaliknya?

Lagi-lagi aku bertanya pada diri sendiri, bagian mana yang salah?

Siti yang hanya seorang janda berasal dari Jawa dengan pengetahuan pas-pasan, pihak KBRI yang lamban, Perusahaan yang mengirim Siti tanpa ada pengawasan lebih lanjut, atau keluarga Siti yang miskin dan menggantungkan hidup mereka hanya pada Siti?

Mungkin Siti hanya merasa, Negara tempat Ia tinggal tidak bisa memberikan peluang padanya, karena Negara ini sudah terlalu banyak orang yang lebih pintar darinya. Atau tanah kelahirannya tidak lagi sesubur dulu, hingga tidak ada lagi yang bisa ia garap.

Kenyataan yang sangat pahit, ternyata kemerdekaan tidak sepenuhnya bisa dinikmati oleh seluruh perempuan Indonesia. Dan kini, penjajahan terhadap hak asasi manusia terasa jauh lebih sakit dari yang terdahulu.

Aku, Siti dan perempuan lainnya, sama-sama tidak mengerti bagian mana yang salah, apa dan siapa yang harus disalahkan. Dan mungkin, bukan saatnya mencari apa dan siapa yang salah, tetapi bagaimana pembenahannya.

Selamatkan perempuan Indonesia dari kebodohan dan kelemahan!