Selasa, 13 Mei 2008

Kataku Agar Kau Tahu Siapa Aku


Banyak orang bilang,

Tak tahu maka tak kenal…

Tak kenal maka tak sayang…

Tapi kataku,

Tak kenal maka tak tahu…

Tak sayang karna tak tahu…

Jadi perkenankan lah aku untuk memperkenalkan diri, agar mereka tahu siapa aku. Dan apa yang akan aku katakan tentang apapun yang aku lihat, aku rasa, dan aku dengar. Baik itu mengenai diriku sendiri atau mereka yang berada di sekelilingku.

Aku adalah seorang gadis remaja dewasa. Kenapa aku bilang seperti itu, karena aku hanyalah seorang remaja pada dasarnya, yang belum sepenuhnya dewasa. Usia ku di tahun “Tikus Tanah”_yang entah dari mana asalnya mereka bisa mendapat sebutan itu, kini 20 thn. Usia dimana sebuah masa peralihan dari remaja menuju dewasa sedang terbentang di hadapanku. Tinggal beberapa langkah saja, maka aku akan berada pada level gadis dewasa yang kemudian menuju wanita dewasa. Meskipun aku tidak tahu persis apa yang disebut dengan dewasa itu sendiri.

Dimana aku lahir, sepertinya tidak penting. Karena proses kelahiranku sama dengan proses kelahiran orang-orang pada umumnya. Di atas sebuah kasur putih kusam, dengan bangsal yang dihuni puluhan pasien. Maklum, rumah sakit tempat aku lahir dibangun pada masa penjajahan. Bernuansa Belanda dan begitu tua.

Dan kapan aku lahir aku rasa itu juga tidak terlalu penting bagi mereka. Karena itu hanya akan menambah beban pikiran mereka saja. Ya, beban ketika harus selalu ingat dan harus mengucapkan ‘Selamat’, bahkan beban untuk memberikan sebuah hadiah_itu pun kalau memang ada yang berniat memberi hadiah. Eh, bukan berarti kalau aku mengingat hari Ultah mereka adalah sebuah beban berat, hanya beban saja. Apalagi untuk membeli kado, kalau dompet lagi penuh dan bergepok-gepok sih, tidak masalah bagiku. Tapi aku kan hanya mahasiswi yang masih menengadahkan tangan ke kedua orang tuaku yang ‘bermandi peluh’ mencari ‘sesuap nasi’. Semoga saja mereka mengerti. Karna jika tidak, sungguh terlalu…

Lagipula bagiku, kata-kata ‘Ulang Tahun’ kini terasa tidak terlalu istimewa. Hanya angka yang berubah, dan usia hidupku yang pasti berkurang. Sementara, setiap perubahan angka itu, serasa ada sebuah bongkahan batu ‘Tanggung Jawab’ yang semakin lama semakin berat dan menimpaku tanpa ampun.

Untuk gadis seusiaku, status yang sesuai adalah Pelajar. Saat ini aku adalah seorang mahasiswi, di salah satu Universitas Muhammadiyah satu-satunya di Sumatera Utara yang sebenarnya tidak terlalu dikenal. Banyak masyarakat hanya sekedar tahu dan pernah dengar saja. Bahkan rata-rata masyarakat awam sering salah ‘kaprah’, dengan Universitas Islam lainnya. Dan terkadang kalau di sebutkan nama Universitas nya yang ‘disingkat’ itu, sering juga orang salah dengar, dengan salah satu Universitas Negeri terkemuka di Sumatera Utara yang tentu saja sangat berbeda jauh sekali kuantitasnya. Kalau di Kampus ku hanya ada beberapa ribu mahasiswa, namun di Kampus itu ada ratusan ribu, atau malah jutaan. Entahlah, aku tidak pernah menghitungnya. (Enggak kerjaan aku kalee).

Keluargaku

Syukur Alhamdulillah, aku hidup dengan perekonomian keluarga yang berkecukupan. Tidak kurang, dan tidak lebih. Cukup makan, cukup belanja, cukup untuk biaya pendidikan aku dan kedua adikku, cukup zakat, dan cukup untuk bensin si ‘kuda besi’ yang bisa mengantarkan seluruh anggota keluarga kemanapun kami mau. Tapi belum cukup untuk naik Haji. Selain materi yang belum cukup, kendala lainnya adalah belum cukup mental bagi kedua orang tuaku. Aku juga tidak tahu apa lagi yang mereka tunggu. Mungkin menunggu hingga usia menginjak 60-an, ketika ingatan mulai sedikit demi sedikit pudar, dengan warna rambut yang sudah berubah, seperti Haji-haji kebanyakan. Tapi sebenarnya, aku sebagai anak tertua_dan yang paling dibebankan, belum siap untuk mempunyai orang tua yang berembel-embel Haji. Karena kalau orang tuaku mempunyai embel itu, malah tanggung jawabku sebagai anak semakin besar, yang harus senantiasa menjaga tingkah lakunya dengan baik, islami, dan bertutur kata ‘indah’. Hmm, jujur saja… kok malah aku yang belum siap. Namun jika Allah SWT sudah berkehendak dan memberi izin-Nya, maka angin badai sekalipun tidak akan menggoyahkan langkah Orang tua ku berkunjung ke ‘Kediaman’-Nya. Dan mau tak mau, aku harus ‘beradaptasi’ dong

Oh ya, ada sebuah impian yang sangat lucu dan patut untuk aku tertawakan yang pernah diucapkan melalui candaan ayahku dahulu ketika aku masih ‘dimanja-manja’.

Hampir setiap malam_jika ayah tidak ada kesibukan beradu pendapat mengenai kelebihan dan kecacatan negeri tercinta ini dengan sesama kepala keluarga lain, dan jika ayah tidak membawa setumpuk berkas-berkas yang sama sekali tidak dimengerti oleh satu rumah_kami duduk di beranda (yang lebih dikenal dengan teras) rumah, melihat bulan yang terkadang senyum, terkadang hilang dan menunjuk-menunjuk bintang yang membentuk rasi indah. Ayahku mengatakan seandainya saja ada sebuah pesawat yang melintas, dan disana tengah terjadi pertengkaran hebat oleh dua orang yang entah siapa itu, memperebutkan sebuah koper berisi bertumpuk-tumpuk uang, kemudian terlempar keluar pesawat dan jatuh tepat di depan kami. Maka apa yang akan kami lakukan? Pertama sekali adalah tidak melaporkannya kepada RT setempat apalagi pada Polisi. Ha… ha… dan selanjutnya???? Mungkin kami harus mengadakan rapat intern keluarga, mau diapakan uang ini??

Aku adalah Aku

Itu tadi sedikit hal manis tentang aku. Selanjutnya akan ada banyak sekali hal-hal manis lain yang akan aku katakan.

Dan aku hanya menerima saran dan pujian mengenai tulisanku. Bukan kritikan pedas. Apalagi pertanyaan yang bertubi-tubi. Sebab sebuah kritikan pedas adalah bentuk sifat iri. Dan terlalu banyak bertanya adalah cermin orang bodoh.

Kalau saja mereka sadar, bahwa saran dan pujian adalah sikap yang diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan hanya Allah SWT yang berhak mengkritik ku. Sebab hanya Allah SWT yang memiliki kesempurnaan. Bukan aku, bukan kamu, dan bukan mereka.

1 komentar:

bidadarisurga mengatakan...

cerleyyyyyyyy
tulisan mu bagoooooooooos kaleeeee
tetap timbulkan inspirasi yang baru2 ya...
ok, cayoooooooo