Kamis, 11 Juni 2009

Bagian Mana Yang Salah?

Aku sama sekali tidak mengerti, apa lagi kekurangan yang dimiliki oleh Negara ku yang amat kaya ini. Hutan dengan keanekaragaman hayati dan hewani dengan air yang mengalir jernih di sepanjang sungai, hingga akhirnya bermuara di luasnya bahari. 63 tahun sudah, Negara ini bebas dari belenggu penjajah. Namun ternyata, ruh-ruh penjajah masih saja bergentayangan seperti terus menghantui. Hingga sisa-sisa pembodohan ketika zaman penjajah dulu, masih terus saja melekat. seperti sudah mendarah daging dan menular turun temurun.

Apakah kemiskinan yang membuat mereka bodoh? Hingga mereka tidak pernah berpikir apapun lagi selain isi perut mereka. Mungkin mereka juga tidak akan pernah menyadari jika makanan yang mereka makan telah diberi racun. Bagi mereka, jika perut sudah terisi meski tidak begitu kenyang, itu sudah cukup.

Lantas, mengapa masih begitu banyak kemiskinan? Apakah karena mereka bodoh? Hingga mereka tidak dapat berpikir bagaimana caranya untuk membuat kehidupan mereka sedikit lebih maju, meski hanya satu langkah kedepan. Yang ada dipikiran mereka, hanyalah hidup untuk hari ini. Dan untuk kehidupan besok, maka akan dipikirkan esok pula. Sama saja dengan jalan ditempat, dan tidak melangkah kedepan sedikitpun.

Aku bertanya kepada diriku sendiri, bagian mana yang salah? Kemiskinan kah? Atau kebodohan? Kedua hal itu seperti parasit, menempel erat namun tidak menghasilkan keuntungan apapun.

Lalu, jika ada pilihan, bagian mana yang harus lebih dulu diberantas?

Jika kemiskinan jawabannya, maka aku bisa menjamin kekayaan itu tidak akan berlangsung lama, karena mereka tidak bisa mempertahankan kekayaannya. Sebabnya, karena mereka masih bodoh.

Namun jika kebodohan jawabannya, mungkin itu adalah jawaban yang paling cocok!

Jika semua warga Negara ini pintar, maka tidak akan ada lagi kemiskinan, karena mereka sudah jeli dalam menangkap peluang. Para petani dan peternak akan semakin meningkatkan prestasinya meski hanya mengolah budidaya dibidang mereka masing-masing. Dan para TKI tidak perlu lagi untuk bersusah payah mengadu nasib di Negeri orang, karena Negara ini sudah kaya dan warganya sudah sangat pintar. Kalaupun mereka tetap ingin bertarung di Negeri orang, maka kita tidak akan menemukan lagi kasus para TKI yang disiksa oleh majikan mereka disana. Karena para TKI tersebut sudah sangat pintar dan tahu bagaimana harus menyikapi ulah majikan yang semena-mena.

Sudah tidak terhitung, entah berapa perempuan yang cacat bahkan hilang ingatan karena penganiayaan di Negeri seberang. Apakah karena mereka hanya seorang pembantu rumah tangga, yang oleh sebagian besar orang berpikir bahwa pekerjaan itu memiliki strata yang paling rendah, strata yang diabaikan haknya. Semua orang tahu, bahwa perempuan tidak sama dengan kaum pria. Namun tidak banyak yang menyadari, bahwa daya seorang perempuan tidak pernah lebih dari laki-laki. Mau bagaimana pun kita mencoba memungkiri, perempuan tetaplah kaum yang sangat lemah. Perempuan tidak bisa sepenuhnya bisa mengandalkan tenaganya. Satu-satunya senjata yang dapat melindungi perempuan adalah hati dan otaknya. Jika otak mereka kosong tanpa bekal pengetahuan dan ilmu, maka yang tersisa hanyalah hati. Dan hati kebanyakan perempuan Indonesia terlalu banyak kata maaf dan kepasrahan. Mereka tidak memiliki daya untuk melawan karena tidak tahu apa yang harus diperbuat.

Andai saja, para tenaga kerja wanita yang akan dikirim ke luar Negeri tidak hanya dibekali dengan keterampilan bekerja, namun juga dibekali dengan bagaimana cara untuk membela diri dan diberi pengetahuan tentang batasan-batasan antara majikan dan bawahan, serta dapat memperjuangkan hak mereka, tentu saja korban seperti Siti Hajar tidak akan pernah ada.

Namun begitu pun, pihak berwenang maupun instansi dari Pemerintahan seharusnya tetap mengawasi kelangsungan hidup warga Negaranya dimanapun mereka bekerja.

Kasus Siti Hajar hanyalah satu diantara seribu. Ironisnya, Siti terselamatkan karena Ia yang berusaha sendiri untuk bebas dan mendatangi pihak KBRI dengan dibantu oleh seorang sopir taksi. Lantas, apakah ratusan Siti lain juga harus terlebih dahulu bersakit-sakit mendatangi KBRI untuk bisa selamat, dan bukan sebaliknya?

Lagi-lagi aku bertanya pada diri sendiri, bagian mana yang salah?

Siti yang hanya seorang janda berasal dari Jawa dengan pengetahuan pas-pasan, pihak KBRI yang lamban, Perusahaan yang mengirim Siti tanpa ada pengawasan lebih lanjut, atau keluarga Siti yang miskin dan menggantungkan hidup mereka hanya pada Siti?

Mungkin Siti hanya merasa, Negara tempat Ia tinggal tidak bisa memberikan peluang padanya, karena Negara ini sudah terlalu banyak orang yang lebih pintar darinya. Atau tanah kelahirannya tidak lagi sesubur dulu, hingga tidak ada lagi yang bisa ia garap.

Kenyataan yang sangat pahit, ternyata kemerdekaan tidak sepenuhnya bisa dinikmati oleh seluruh perempuan Indonesia. Dan kini, penjajahan terhadap hak asasi manusia terasa jauh lebih sakit dari yang terdahulu.

Aku, Siti dan perempuan lainnya, sama-sama tidak mengerti bagian mana yang salah, apa dan siapa yang harus disalahkan. Dan mungkin, bukan saatnya mencari apa dan siapa yang salah, tetapi bagaimana pembenahannya.

Selamatkan perempuan Indonesia dari kebodohan dan kelemahan!

Tidak ada komentar: