Rabu, 15 Oktober 2008

Sandwich Tanpa Isi

Pagi itu, mentari tengah berada pada waktu Dhuha. Aku masih terbaring lelap dalam tidur dengan mimpi kosong. Tiba-tiba dering telphon membuat aku seketika terjaga. Jarak suara itu dengan tempat ku terbaring terlalu jauh, hingga rasanya aku malas untuk menggapainya, hanya sekedar untuk mengatakan “hallo.” Beberapa kali suara itu berteriak, tetap tidak ada seorang pun yang berusaha membungkamnya. Akhirnya dengan mata yang masih sembab, dan langkah yang sedikit sempoyongan, aku berjalan menuju benda yang sedari tadi berbunyi.

“Hallo…” dengan suara yang masih parau, aku coba membuka percakapan.

“Hallo Assalamu’alaikum…” terdengar sebuah jawaban.

“Wa’alaikum salam…” Aku mengucek mata berusaha memastikan bahwa aku sudah tidak dalam keadaan tidur.

“Bisa bicara dengan Sierly..?” suaranya yang berat menandakan bahwa aku sedang berbicara dengan seorang lelaki dewasa. Tapi siapa dia??

“Ya, ini sierly sendiri, ni siapa ya??”

“Ini Rian, Sier…Tmn SMP dulu, tapi kita beda kelas.”

“Rian?? Rian yang mana ya??” Tanya ku masih di antara sadar dan tidak sadar.

“Rian temen sekelas Retno, kelas III-4 itu lho, Sier..”

“Oh, iya..ya.. Apa kabar??” jawabku lagi, dengan otak yang masih berputaar-putar mencoba mengingat sosok Rian. Terus terang saja, aku masih lupa. Tapi dari pada aku menyinggung perasaannya, lebih baik aku pura-pura sudah ingat saja. Sesaat aku memang berusaha keras mengingat dia, apakah Rian yang memiliki postur kurus, bermata sipit, berkulit putih dengan aksen yang sedikit kewanita-wanitaan itu. Atau Rian yang berpostur sedang, berkulit putih juga, agak pendiam tapi cukup nakal di sekolah.

Hmm…entahlah.

Yang aku ingat adalah, dulu aku dan Rian tidak pernah berteman dekat, bahkan untuk sebuah teguran saja rasanya jarang sekali. Lalu kenapa ia bisa menelpon ku? Padahal aku tidak pernah memberikan nomer rumah ku padanya. Usut punya usut ternyata ia mengetahuinya dari Retno. Tapi kenapa tiba-tiba saja ia menelpon ku? Karena seingat ku lagi, sudah hampir 7 tahun aku terpisah dengannya. Dan selama itu, sedetik pun aku tidak pernah mengingatnya. Lalu kenapa dia tiba-tiba mengingatku?

Suaranya yang berat, membuat hati ku masih tetap bertanya-tanya apakah aku memang sedang berbicara dengan Rian? Bukan karna aku merasa ada yang berubah darinya, tapi aku memang tidak tanda dengan suaranya. Ya karna memang aku tidak pernah mendengar suaranya sebelumnya. Setelah bicara cukup lama, barulah aku sadar bahwa ia memang benar-benar Rian.

Dia memang sudah berubah. Tidak di sangka, Rian yang dulu ku tahu adalah sosok cowok yang tidak banyak bicara tapi cukup nakal karna sering bolos juga, kini sudah hampir 3 tahun menjadi seorang AURI atau Angkatan Udara Republik Indonesia. Dan kini ia dinas di Yogyakarta.

Sejurus kemudian, seperti ada sesuatu yang tiba-tiba membuatku terhenyak heran. Ketika ia berkata tentang alasan mengapa ia bisa tiba-tiba menghubungiku. Beberapa waktu lalu, ia bermimpi tentangku. Dalam mimpinya, aku berkata kalau aku akan selalu menunggunya kembali. Dan sejak mimpi itu, ia selalu beranggapan mungkin aku adalah jodohnya. Sekarang ia kembali ke Medan untuk liburan, sekaligus khusus mencariku.

Rian begitu yakin kalau aku adalah sosok yang selama ini ia cari. Dan pagi itu juga, ia langsung mengutarakan maksudnya untuk memberikan ia kesempatan menjadi kekasihku. Walah… udah gila kali yha??

Semakin lama ia semakin serius dengan keinginannya itu. Sementara aku, tidak bisa berkata apa-apa selain mencoba tetap menyadarkan diri, bahwa aku tidak sedang bermimpi.

Hanya dalam kurun waktu beberapa hari, dia sudah bisa mengambil hati orang tuaku. Dia bahkan cukup nekat bicara dengan orang tuaku tentang keseriusannya untuk berhubungan denganku. Dengan pakaian dinasnya yang serba biru, plus pangkat Serda (Aku sendiri nggak ngerti setinggi apa sih pangkatnya itu??), tentu saja orang tuaku sumringah mendengarnya. Apalagi ayahku, dia malah menasehatiku macam-macam, kalau inilah saatnya aku memiliki seseorang yang benar-benar bisa mengayomiku Bla..bla..bla….

Oke... Aku akui, awalnya aku salut empat jempol untuknya. Dia cowok pemberani bahkan melebihi pahlawan bertopeng manapun. Dan memang baru dia cowok yang cukup handal berkompromi dengan ayahku panjang lebar. Malah belum ada mantan pacarku yang seperti itu, bahkan Edwin yang sempat berhubungan 4 tahun itupun sangat tidak pernah berbuat itu. (Hhh… kenapa harus inget dia lagi sih?!)

Dia hanya punya waktu beberapa hari di Medan. Dan selama beberapa hari itu, dia lebih banyak menghabiskan waktunya denganku. Banyak hal yang ia bicarakan. Sangat banyak sekali. Seputar kegiatannya disana. Bagaimana dia bisa lulus AURI. Dan yang paling membuatku pusing adalah tentang planing dia untuk segera menikah di tahun 2010. Padahal aku belum menerima dia jadi apapun. Tapi apa yang dia bilang seolah-olah aku sudah resmi jadi calon istrinya. Dia juga bilang, kalau seorang istri AURI harus seperti ini, seperti itu. Pliz dech bho!!!

Pada pertemuan ketiga, aku langsung dibawa ke keluarga besarnya. Dimana disitu ada orang tuanya, neneknya, paman, bibi dll. Dan dengan santainya dia memperkenalkan aku sebagai calonnya. Seluruh darahku rasanya seperti turun ke ujung kaki. Sendi-sendi ku terasa ngilu. Kepalaku dipenuhi kunang-kunang yang tertawa-tawa melihat mukaku yang pucat. Aku mau pingsan saja rasanya. Saat itu rasanya aku cuma ingin berteriak “Ooh…Tidak!!!”

Walaupun aku hanya mengenalnya dalam waktu beberapa hari. Aku sudah bisa membaca semua sifatnya. Pemarah, sedikit angkuh, possesif, terlalu serius, dan terlalu banyak berkhayal! Malah khayalannya tinggi kali pula tuh…

Mungkin aku memang sedikit matre (Hari gini mana ada sih cewek yang cuma mau makan cinta mentah-mentah, itu bagi mereka para wanita yang mau memikirkan masa depannya), tapi aku juga bukan cewek yang gila harta atau pangkat dari seorang lelaki. Rasa sayang itu juga harus ada. Dan aku sadar, kalau aku memang tidak bisa memaksakan hatiku untuk bisa memiliki rasa itu untuk Rian. Akhirnya aku memutuskan untuk bicara semuanya ke dia, tentang apa yang aku rasakan. Tentang bagaimana aku sebenarnya, dan tentang orang lain yang sudah mengisi hatiku.

Aku tidak bisa membayangkan kalau Rian jadi suamiku. Apa jadinya gelar S.Sos ku, apa jadinya semua karirku, impianku. Oh No Way!

Jodoh memang di tangan Tuhan, tapi untuk kali ini, aku lah yang harus menghentikan jodoh itu, kalau Tuhan sudah merencanakan Rian adalah salah seorang jodoh yang harus ku pilih.

Pliz Allah… beri aku lelaki yang lain saja!!

Saat ini yang ada di hatiku cuma Eko. Meskipun dia jauh, tapi aku bisa jauh lebih nyaman untuk berbagi apapun dengannya. Aku bisa jadi diri aku sendiri. Dia selalu bisa jadi air ketika bara api menyelimutiku. Walaupun dia punya segudang kesibukan, tapi dia akan tetap mencariku ketika aku membiarkan dia melakukan kegiatannya tanpa mengganggunya dengan suara dering handphone.

Dalam penglihatanku, Rian seperti sepotong sandwich. Ia begitu terlihat lezat dan menggoda untuk kucicipi, tapi terlalu hambar dan tanpa isi. Cinta tidak hanya bagaimana kita bisa menerima seseorang apa adanya. Tapi juga bagaimana caranya kita untuk membuat cinta itu menjadi sesuatu yang membuat perubahan positif dalam hidup kita.

Cinta itu lebih dari sekedar kata, ia harus bisa memberi kita banyak hal.

Cinta tidak hanya memberi kita rasa aman, tapi juga kenyamanan.

Kenyamanan untuk melakukan banyak hal yang kita suka, tanpa terbelenggu oleh rasa cinta itu sendiri.

Dan bagiku hal yang paling terpenting adalah aku akan merasa nyaman bersama orang yang aku sayangi dan menyayangiku. Siapapun dia.



Oktober 08

Tidak ada komentar: